Begitu pula sebaliknya, jika ada tetangga yang kehabisan merica, terasi dan beberapa jenis bumbu lainnya termasuk beragam empon-empon dan juga sayuran pelengkap seperti kemangi (Ocimum africanum), kenikir (Cosmos caudatus), beluntas (Pluchea indica), bahkan juga daun pisang untuk bungkus makanan,  biasanya njujug-nya ke rumah Simbah yang mempunyai kebun cukup luas di belakang rumah.
Uniknya, ketika masakan atau sayuran sudah jadi, seperti ada konvensi yang berlaku di masyarakat. Si pembuat masakan akan mengantarkan masakan jadi tersebut kepada tetangga disekitar rumahnya, terutama kepada yang dimintai kelengkapan bahan masakannya tadi.Â
Jumlah atau kuantitasnya memang tidak banyak, tapi cukup pantas untuk menuntaskan hak hidung yang terlanjur mencium bau masakan, hak mata yang melihat aktifitas memasak dan hak telinga yang kebetulan mendengar adanya aktifitas memasak.
Inilah uniknya tradisi berbagi khas di pedasaan yang pastinya tidak sekedar berbagi bahan masak dan masakan semata, tapi juga berbagi kebahagiaan dan kebersamaan yang semakin menambah kenikmatan apapun masakan yang terbagi.
Sebagai "Universitas Berbagi" terbaik, masih banyak dinamika kehidupan khas pedesaan yang bisa menjadi pelajaran penting, sekaligus inspirasi hidup untuk berbagi kebahagiaan secara riil dan aktual. Bahkan "tradisi berbagi" di desa tidak sekedar berbagi materi seperti dua contoh diatas saja, ada juga bentuk-bentuk berbagi dengan obyek yang berbeda, meskipun ujung-ujungnya tetap sama, berbagi kebersamaan dan kebahagiaan!
Misalkan "berbagi kesempatan", Â seperti giliran mendapatkan jatah aliran air untuk mengairi sawah dan juga "berbagi kesibukan" yang biasanya terjadi ketika ada hajatan atau juga takziah kematian.Â
Ini luar biasanya hidup di desa! Khusus untuk "berbagi kesibukan" pada takziah kematian ini, biasanya keluarga inti yang berduka disarankan untuk "duduk manis" saja, sementara "semua urusan" termasuk penguburan, konsumsi dan lain-lainnya diurus oleh tetangga dan keluarga lainnya jika ada. Masha Allah!Â
Tradisi Berbagi di Kota 1000 Sungai
Sejak akhir dekade 90-an silam, Â saya menetap di Kota 1000 Sungai, Banjarmasin. Ibu kota Propinsi Kalimantan Selatan. Di kota perdagangan tua dengan penduduk multietnis ini, mayoritas penduduknya merupakan penganut agama Islam yang taat. Wajar jika kemudian nafas Islam begitu kental berkelindan dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya.Â
Salah satunya yang paling kentara adalah tradisi mengistimewakan hari Jumat yang dalam kepercayaan Islam merupakan hari paling utama (afdhal) atau ada juga yang menyebutnya sebagai penghulu hari atau Sayyidul ayyam yang penuh barakah.Â