Masih terekam jelas dalam ingatan saya, ketika Mbah Putri atau ibu saya, setiap pagi selalu menaruh dua kendi (gerabah wadah air minum) di atas buk atau dinding pagar pembatas antara halaman rumah dengan jalan.
Air dingin alami yang menyegarkan dalam kendi dengan lubang bagian atas (untuk mengisi air) dan bagian depan (untuk mengucurkan air) selalu ditutup dengan gulungan daun pisang berbentuk kerucut itu diperuntukkan bagi siapa saja yang lewat di jalan depan rumah dan kebetulan perlu air minum.
Biasanya, jika terik di musim kemarau, sebelum tengah hari air dalam dua kendi tersebut sudah ludes dan langsung diisi ulang oleh Simbah Putri atau ibu saya yang biasa ditugaskan mengontrol.
Uniknya, karena biasanya tidak disediakan gelas, maka para peminum air kendi akan meminum dengan cara nglonggo/ngglogo, yaitu teknik minum langsung dari kendi dengan cara mengucurkan air langsung ke mulut/tenggorokan yang biasanya harus dibarengi dengan menahan nafas dan dalam keadaan duduk. Jadi tidak boleh nyucup atau dengan menempelkan bibir langsung ke lubang keluarnya air. Â
Tradisi berbagi air minum dalam kendi ini bukan tradisi dalam keluarga kami saja, tapi hampir sebagian besar warga kampung yang lokasi rumahnya di pinggir jalan raya kampung yang biasa menjadi akses utama masyarakat dan juga para pedagang menuju ke pasar induk kecamatan yang berada di tengah-tengah desa kami.Â
Sayangnya, sejak meninggalkan kampung halaman untuk melanjutkan sekolah di luar daerah, dilanjut bekerja dan menetap di Kota Banjarmasin, saya tidak begitu memperhatikan lagi kelanjutan "tradisi berbagi" air, khas masyarakat pedesaan ini.Â
Meskipun begitu, pelajaran penting dari tradisi berbagi air minum ini telah begitu kuat mengakar dalam kontrol memori saya, sehingga setiap saat bisa menjadi referensi "model berbagi" yang tetap aktual sampai kapanpun, meskipun mungkin instrumennya tidak harus sama persis dan modelnya juga memerlukan beberapa modifikasi agar lebih aktual, sekaligus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi jaman yang terus bergerak dan berubah. Â
Selain berbagi air minum dalam kendi, tradisi berbagi yang unik lainnya adalah berbagai bahan pangan, baik yang masih dalam bentuk bahan mentah (terutama jenis sayuran dan bumbu-bumbunya) maupun yang sudah dalam keadaan matang dan siap santap. Biasanya yang menjadi pelaku aktifitas ini adalah ibu-ibu dan remaja putri
Saya masih ingat, kalau kebetulan kehabisan tempe busuk (tempe yang sengaja dibusukkan untuk bumbu masakan khas Jawa Timuran) saat mau masak sayur lodeh, biasanya ibu pasti njujug (menuju) ke tempat Bude Marni, tetangga seberang rumah untuk meminta tempe busuk secukupnya. Â