Sayangnya, setahun berprofesi menjadi penjahit keliling di Kotabaru , Kang Nur belum merasakan adanya perubahan yang signifikan pada kondisi ekonominya.Â
Kang Nur masih tetap tidur beralaskan kardus bekas minuman di rumah bedakan yang disewanya. Menurutnya, informasi terkait ekonomi regional Kotabaru yang konon saat itu terbaik di Kalimantan Selatan dan juga potensi hasil usaha menjahit keliling di Kotabaru yang katanya bisa mencapai 3 (tiga) kali lipat tidak sepenuhnya benar.
Baca Juga:Â Diaspora "Gula Gending-Lombok", Melintas Negeri untuk Eksistensi
Ekonomi regional Kotabaru, saat itu mungkin memang bagus dan masuk akal jika tarif jahit menjahit bisa 3 (tiga) kali lipat dari tarif di Jawa, tapi dengan jumlah penduduk dan juga kepadatannnya yang relatif kecil, maka potensinya pelanggannya juga relatif kecil.Â
Spesifiknya, meskipun nominal tarif ongkos jasa lebih mahal tapi kalau pelanggan yang menjadi faktor kalinya sedikit, maka hasil juga tidak akan merubah ekonomi domestiknya Kang Nur.Â
Wadai Bakpao Produksi Kang Nur | @kaekaha
Pusingnya lagi, di saat kritis yang sangat menguji "mental perantauanya" itu, istrinya yang baru saja melahirkan di kampung halaman memaksa untuk ikut merantau mendampingi Kang Nur dalam suka dan duka, mbabat alas di Kalimantan.
Beruntungnya, logika kritis lelaki kelahiran 45 tahun silam tersebut tetap berjalan, ditengah ujian mental yang kelak sangat menentukan jalan hidupnya tersebut.Â
Kang Nur baru menyadari, kenapa harus ke Kotabaru yang penduduknya relatif masih sedikit!? Kenapa tidak menuju ke pusat perekonomian Kalimantan Selatan? Kenapa tidak terpikirkan untuk merantau ke Banjarmasin, salah satu kota dengan kepadatan tertinggi di Indonesia yang sudah pasti memberikan probabilitas pelanggan lebih besar!?
Baca Juga:Â Berziarah ke Taman Kamboja, Eks-Komplek Pekuburan Belanda di Jantung Kota Banjarmasin