Definisi adil terkadang masih kita pahami layaknya timbangan yang sama berat atau ukuran jarak yang sama jauh. Padahal yang namanya adil tidak serta merta harus sama berat atau sama jauh seperti itu gaeeeeess! Gak percaya?Â
Team sales BO (Branch Office)Â kami saat itu kebetulan mendapat rotasi wilayah dan mendapatkan lokasi baru sedikit agak ke pedalaman. Pada dasarnya, tidak ada yang aneh dengan daerah kerja kami yang baru, semua relatif sama sampai bulan ramadan tiba.Â
Kebijakan dari HO (Head Office) di Jakarta, selama  Ramadan sales harus sudah input orderan paling lambat jam 14.00 waktu setempat, agar jam 16.00 operasional kantor bisa selesai tepat waktu dan semua bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Enak to!Â
Maklum, perusahaan distribusi dan pemasaran consumer goods tempat kami bekerja, tutupnya biasa lupa diri dan lupa waktu, bisa sangat molor bahkan sampai tengah malam hanya gara-gara menunggu sales TO (take order), canvasser dan juga task force yang tetap bergerilya memenuhi target bulanan meskipun hari sudah gelap. Padahal selain tidak ada uang lembur, mereka juga belum input oderan melalui sistem jaringan nasional yang biasanya juga harus berebut. Kebayang kan bagaimana uenaaaaknya menunggu!
Rupanya, wanti-wanti untuk pulang lebih cepat ini justeru membuat beberapa sales menjadi kelimpungan, karena mengaku rute mereka tidak memungkinkan untuk bisa balik ke kantor sebelum jam 14.00. Akhirnya, HRD meminta diusahakan semaksimal mungkin jam 14.00 sudah sampai di Kantor.
Tidak menunggu lama, sehabis sholat Dhuhur sales kami yang kebetulan mendapat rute ke arah daerah hulu menelpon dan meminta saya untuk mendatanginya di sebuah kantor desa di salah satu daerah hulu yang memang menjadi jalur satu-satunya menuju beberapa kecamatan di sekitarnya. Betapa kagetnya saya ketika sampai di kantor desa tersebut, ternyata banyak juga warga desa berkerumun di kantor desa tersebut. Ada apa gerangan?
Ternyata, ada tiga orang sales TO kami disitu yang dua diantaranya tengah diinterogasi layaknya disidang di balai desa setempat. Ternyata, salah satu diantara mereka, si-Andi tertangkap basah oleh warga menabrak rombongan kambing yang kebetulan melewati jalan yang juga mereka lalui dan di saat hampir bersamaan di lokasi yang sama juga temanya, si-Amin menabrak penyeberang jalan.
Intinya, karena keteledoran keduanya yang dianggap lalai saat mengendarai kendaraannya, menyebabkan satu ekor anak kambing ukuran sedang mati dan beberapa diantaranya patah kaki, sedangkan gadis yang tertabrak Si-Amin juga harus mendapatkan perawatan, karena mengalami gegar otak dan patah kaki kanan.Â
Masalah ini akhirnya kami sepakati diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Sugi yang di bonceng si-Andi dan si-Amin yang menyetir sepeda motor memang mengakui kesalahannya dan orang tua si anak gadis yang tertabrak juga sudah memaafkan si-Amin, setelah si-Amin yang kebetulan memang warga asli daerah hulu sini, datang dengan orang tuanya melamar si-gadis yang ditabraknya dan syukurnya diterima oleh orang tua juga si-gadis. Â
Jujur untuk yang satu ini, saya tidak tahu proses dan isi negosiasinya, karena sesuai kesepakatan kami, masalah si-Amin selanjutnya menjadi masalah keluarga, sehingga menjadi tanggungan keluarga kedua belah pihak tanpa ada campur tangan dari perusahaan. Alhamdulillah! Â
Belakangan, saya mendapatkan bocoran langsung dari si-Amin, kalau kedua orang tuanya dulu bertemu dan menikah juga diawali dengan tragedi yang sama, modusnya ditabrak dulu! He...he...he... auk ah!
Masalah si-Amin beres! Sekarang tinggal masalah si-Andi dengan kambing-kambingnya yang sepertinya malah menjauh dari kata beres. Gara-garanya, si pemilik kambing tidak mau hanya diberi ganti uang senilai kambing yang mati plus uang pengobatan untuk kambing-kambingnya yang patah kaki, tahu sebabnya?
Ini yang membuat saya tidak bisa melupakan ini semua sampai kapanpun! Pemilik kambing menghitung angka ganti ruginya dengan kalkulasi, kalau kambing sudah dewasa total bisa punya anak berapa, nanti anaknya sikambing bisa berpotensi punya cucu berapa!? Semuanya dihitung harganya dan ditotal! Wadauuuuh!
Waktu si-Andi mencoba protes menganalogikan posisi dia dengan posisi si-Amin, temannya yang menabrak si-gadis yang sama sekali tidak keluar uang padahal yang ditabrak si-Amin adalah manusia yang secara nalar tentunya lebih bernilai ketimbang seekor kambing, apa jawabnya si pemilik kambing!?
"Temanmu kan mau mengawininnya, memangnya kamu mau mengawini kambing saya!" Jawab si-Bapak spontan, membuat Si-Andi langsung pingsan di tempat.
Semoga menghibur!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H