Jujur, saya merasa aneh dengan situasi ini! Saya justeru merasa asing dengan diri saya sendiri, aktivitas dan rutinitas, termasuk dengan lingkungan kampung saya sendiri! Sedihnya lagi, tidak ada satupun yang mengerti sampai kapan terus begini!
Bulan Ramadhan di Kota 1000 Sungai, biasanya justeru menjadi bulan yang paling hidup diantara bulan-bulan lainnya. Aktifitas ekonomi, sosial, budaya apalagi reliji masyarakat banua seperti mendapat energi lebih untuk menyemarakkan syiar Ramadan, termasuk akifitas untuk memakmurkan masjid yang seolah-olah secara otomatis datang dan menghampiri seluruh umat di seluruh penjuru negeri layaknya Deja vu.
Kumandang ayat-ayat suci Alquran, shalawat tarhim Syeikh Mahmud Khalil Al-Hushariy dan Azan setiap tiba shalat lima waktu menjadi elemen Ramadhan yang lebih dulu hilang, bahkan beberapa minggu sebelum Kota 1000 Sungai secara resmi memberlakukan PSBB di awal Ramadan pada tanggal 24 April 2020.
Seolah-olah seperti bermain domino, anomali wajah Ramadan di Kota 1000 Sungai tahun ini masih belum berhenti! Selanjutnya semua aktifitas ibadah komunal di Masjid wajib dihentikan secara resmi sejak kebijakan PSBB juga resmi diberlakukan di Kota Banjarmasin.
Artinya, tidak ada lagi shalat lima waktu berjamaah di masjid, termasuk shalat Jumat dan kemungkinan shalat Idul Fitri di tanggal 1 Syawal 1441 H nanti, yang semestimya menjadi "tanda"kembali fitrinya jiwa-jiwa yang telah lulus dari kawah candradimuka Ramadan.Â
Merubah sebuah kebiasaan, adat atau apapun yang telah berurat berakar dalam memori kehidupan komunal sebuah komunitas bersama menjadi sebentuk anomalis tentu bukan perkara gampang! Apalagi ditengah himpitan ekonomi dan beban sosial yang relatif berat, juga sisi psikologis masyarakat yang saat ini "sedang sakit"!
Begitu juga dengan berbagai anomalis yang terlahir sebagai dampak kebijakan kedaruratan akibat pandemi covid-19, mulai dari physical distancing, social distancing, PSBB, sampai pelarangan mudik bagi para perantau, juga anomali penutupan masjid, mushalla, langgar dan surau yang selama ini menjadi simpul aktifitas reliji, sosial dan budaya masyarakat.Â
Dalam skala rasio yang paling ringan, setidaknya efek dari berbagai bentuk pembatasan tersebut pasti akan memberikan dampak pada terbentuknya simpul-simpul kerinduan yang mendalam kepada semua yang terbatasi.Â
Seperti rindu pada sambal bajak olahan ibu di kampung halaman, rindu pada suasana belajar mengajar di kelas, rindu makan bareng teman-teman di warung, rindu citarasa soto Banjar Bang Amat yang tutup sejak PSBB berlaku, sampai rindu dengan suasana sholat tarawih bersama warga sekampung dan bentuk-bentuk kerinduan lainnya!