" ...sri maharaja sri bahu wikra ma bajradewa mapikat khitiran waitannin parhyangn haji i tlu ron. i huwus nira mapikat madyus sira i pancuan mulih sira in kadatwan....".
Begitulah bunyi baris 3-4 kalimat yang terdapat dalam lempeng prasasti Tlu Ron, prasasti yang ditemukan pada Juli 2015 di Komplek Candi Kedulan, Dusun  Kedulan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman.
Menurut pembacaan epigraf dari UGM Tjahjono Prasodjo, bertarikh tahun 822 saka atau 30 Maret 900 peninggalan Rakai Watukura Dyah Balitung, Raja Kerajaan Mataram Kuno yang bertakhta pada 898-910 M.
Terjemahan dari dua baris kalimat beraksara jawa kuno, berbahasa perpaduan jawa kuno dan sansekerta di atas adalah,
"....Sri Maharaja Sri Bahuwikramabajradewa menjerat burung perkutut di timur bangunan suci di Tlu Ron. Setelah menjerat perkutut, beliau mandi di pancuran. Beliau pulang kembali ke kedaton (istana)..."
Sisi menarik dari prasasti Tlu Ron ini, selain memuat berita yang menurut para arkeolog sangat detail dan lengkap adalah penyebutan kata Tlu Ron itu sendiri. "Parhyangan haji i tlu ron" atau "bangunan suci di Tlu Ron".Â
Karena peletakan prasasti batu andesit yang sangat berat dengan dimensi tinggi 78 cm, lebar 78 cm dan tebal 16 cm yang kondisinya terbelah itu di komplek Candi Kedulan (nama sekarang), menurut Tjahjono Prasodjo intrepretasi-nya adalah nama lokasi/daerah tempat dibangunnya bangunan Hindhuistis ini pada masa itu Tlu Ron.
Apa itu Tlu Ron?
Menurut Tjahjono Prasodjo, "tlu" artinya tiga, dan "ron"  dalam pemahaman Bahasa Jawa halus artinya daun. Jadi, Tlu Ron itu maknanya Tiga Daun yang diyakini diadopsi dari nama pohon yang identik satu tangkainya berdaun tiga.
Seperti diberitakan Tribun Jogja tanggal 19 Maret 2020 dengan judul Pohon Tlu Ron, Jejak Kuno Nama Lokasi Candi Kedulan, Tumbuh Subur di Banjarmasin.Â
Istilah Tlu Ron yang terdapat pada naskah kalimat di prasasti yang kelak juga dinamai parasasti Tlu Ron ini diyakini merupakan nama daerah tempat berdirinya bangunan suci (Komplek Candi Kedulan Sekarang). tempat prasasti ini ditempatkan.
Menurut Tjahjono Prasodjo, diambil dari pohon yang kemungkinan saat itu banyak tumbuh di kawasan tersebut dengan ciri identik berupa daun yang setiap tangkainya terdapat tiga helai daun.
Kebetulan, di Banjarmasin terdapat tanaman/pohon dengan nama dan juga ciri fisik yang sangat identik dengan ciri tanaman atau pohon Tlu Ron tersebut yang oleh masyarakat Banjar biasa disebut sebagai Tigarun.
Penulisan dan pelafalan suku kata run dalam kata Tigarun ini mengacu pada dialek asli Banjar hulu yang biasa melafalkan huruf O (biasa disebut sebagai huruf O bulat) dengan U (biasa disebut sebagai huruf O pecah ; Urang Banjar tidak mengenal huruf  U, tapi O pecah).
Jadi aslinya, penulisan yang benar adalah Tigaron dan dibaca dengan dialek Banjar Hulu menjadi Tigarun.
Memang masih memerlukan kajian intensif dan penelitian lebih lanjut, untuk memastikan hubungan antara tanaman/pohon Tlu Ron di Dusun Kedulan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman di abad ke-9 dengan Tigarun atau Tigaron yang sekarang banyak tumbuh subur di tepian Sungai Martapura dan sebagian besar wilayah berair Kalimantan  Selatan.Â
Mengenal Tanaman Tigarun Lebih Dekat
Tigarun atau Tigaron merupakan sebutan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan untuk tanaman berdaun majemuk yang pada satu tangkainya terdapat tiga helai daun yang di dunia internasional lebih dikenal sebagai Three-leaf Caper (Crataeva adansonii).
Menurut guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Prof. Dr. Mochamad Arief Soendjoto dalam artikel "TIGARON (Crataeva adansonii) Tumbuhan Lahan Basah, Bahan Jaruk Tigaron" menyebutkan, tanaman berakar tunggang ini termasuk tumbuhan berkayu, mengeras, menahun dan membentuk pohon dengan batang tumbuh tegak lurus vertikal dengan tulang percabangan sukar ditentukan, tetapi umumnya mengarah ke atas sampai bertemu dengan tulang cabang yang ada diatasnya.Â
Pohon Tigarun mempunyai ciri daun majemuk yang menjari dengan tiga anak daun yang rata dibagian tepinya dan bagian daging daun relatif tipis dan lunak.
Tangkai daun berbentuk bundar berongga dengan warna hijau bernoktah putih menyerupai lentisel. Daunnya  dan susunannya tidak lengkap. Stipula berlekatan menjadi satu dan terdapat di ketiak daun.
Bunga pohon tigaron merupakan jenis bunga yang lengkap dan sempurna, tergolong bunga majemuk tak berbatas dengan bunga banyak yang terletak pada ujung ranting. Tangkai bunga tidak bercabang-cabang, sehingga bunga langsung terdapat pada ibu tangkainya dan termasuk dalam tipe tandan. Bunganya
Berdasarkan alat kelamin, bunganya termasuk kelompok bunga banci atau berkelamin dua. Bunga jantan dan bunga betina ada pada satu individu, sehingga termasuk berumah satu. Kelopak, mahkota, benang sari, dan daun buah terletak berhadapan atau tumpang tindih.
Buah tigaron yang sejauh ini belum bisa dimanfaatkan, termasuk dalam kelompok buah telanjang atau buah sejati. Buah berdaging dan termasuk buah buni. Saat buahnya membesar dan masak, daun berguguran hingga pohon tanpa daun sama sekali. Pada saat seperti ini, orang mengira pohon tigaron mati.
Jaruk Tigarun
Kosakata Jaruk dalam bahasa Banjar artinya awetan. Hanya saja, proses awetan jaruk dari masing-masing produk makanan bisa berbeda-beda.
Contohnya, Selain Jaruk Tigarun yang proses awetannya dengan cara difermentasi dengan air hangat selama 3-7 hari, Urang Banjar juga mengenal olahan Hintalu Jaruk sebutan telur asin untuk Urang Banjar apalagi dengan produk  Kacang Jaruk. Nah lho, apalagi itu?Â
Kuliner Jaruk Tigarun, meskipun masih ada penjual dan penikmatnya di Kota Banjarmasin dan sekitarnya, tapi bisa dikategorikan langka lho!Â
Citarasanya yang mahung (terjemahan paling dekat mungkin kata "langu" ; bhs Jawa), asam, sedikit getir dan pahit, bahkan ada beberapa yang setelah menyantap kadang merasa pusing, menjadikan lalapan khas Urang Banjar ini jadi kurang populer di generasi kekinian.
Padahal menurut penelitian senyawa fenolik yang dikandung Jaruk Tigarun bisa berpotensi sebagai antibakteri yang bermanfaat lho!
Cara membuat Jaruk Tigarun juga relatif mudah. Petik pucuk batang yang berbunga dengan menyertakan daun muda. Cara ini tidak hanya memudahkan dan mempercepat pemetikan, tetapi juga mengurangi peluruhan bagian-bagian bunga (seperti mahkota, benang sari).
Karena mudah luruh, maka batang bunga biasanya tidak perlu dicuci. Untuk mematikan kuman dan sekaligus melemaskan jaringan bunga agar tidak luruh, bunga dicelupkan dalam air mendidih atau bisa juga disiram terus direndam sekitar 3 menit.
Lama pencelupan ini biasanya ditandai dengan pemudaran/pemucatan warna bunga dan perubahan warna air dari bening ke kuning kehijauan atau kemerahan.
Pencelupan ke media air panas ini  juga bermanfaat untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi bau dan rasa mahung, menghilangkan getah, atau mengurangi kadar senyawa yang dikandung oleh bunga atau tangkainya dan mungkin berbahaya. Semakin lama proses pencelupan/perendaman (fermentasi)  menurut penikmat Jaruk Tigarun akan semakin membuat nikmat citarasanya.
Biasanya, Jaruk Tigarun ini menjadi teman paling dicari sat menyantap nasi hangat, iwak baubar atau iwak babanam (ikan bakar) atau mungkin iwak sapat asin dan yang tidak boleh ketinggalan yaitu sambal acan alias sambal terasi khas Banjar yang pedasnya aduhai!
Sayangnya Jaruk tigarun ini tidak bisa disantap setiap waktu, karena pohon Tigarun tidak berbunga sepanjang tahun.
Jadi bagi siapa saja yang tertantang ingin mencoba Jaruk tigarun harus terbang ke Banjarmasin atau Kalimantan Selatan saat masa (akhir) pembungaan pohon Tigarun pada  sekitar bulan Pebruari-Maret.Â
Berarti sekarang ya, Yuk ke Banjarmasin!
Semoga Bermanfaat!
Salam dari Kota 1000 Sungai, Banjarmasin nan Bungas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H