Pertama kali menginjakkan kaki di Kota 1000 Sungai dua dekade silam, menjadi adab sekaligus tekad saya sebagai pendatang merasa wajib untuk menjunjung semangat dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung
Caranya!? Ketertarikan saya pada tema sosial, seni, dan budaya secara naluriah mengantarkan saya untuk bersentuhan dengan berbagai fakta sosial budaya masyarakat Banjar yang notabene memang penduduk asli sekaligus mayoritas di Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan.
Gayung bersambut, niat saya untuk terus menggali berbabagi kearifan lokal dalam budaya masyarakat Banjar secara perlahan tapi pasti semakin mendekatkan saya pada banyak momentum yang memberi saya ruang reperesentattif untuk lebih intens mengeksplor budaya Banjar.
Dari para budayawan Banjar yang akhirnya banyak menjadi sahabat sekaligus mentor saya, akhirnya budaya Banjar yang sangat unik benar-benar mulai mendarah daging dalam metamorfosa kehidupan saya.Â
Di kantor, lingkungan pertama saya bersentuhan dengan masyarakat Banjar, suasananya juga begitu kondusif untuk belajar mengaplikasikan teori budaya yang saya dapatkan dari para mentor, budayawan Banjar.
Salah satu guyonan atau semacam humor dalam masyarakat Banjar yang pertama kali saya kenal, sekaligus paling menarik perhatian saya sampai sekarang adalah adagium kocak yang sedikit satire berikut.
Babini saikung nitu wajar (Beristri satu itu wajar),Â
Babini dua ikung hanyar balajar (Beristri dua itu baru belajar),Â
Babini tiga ikung kurang ajar (Beristri tiga itu 'kurang ajar) dan...Â
Babini ampat ikung hanyar urang Banjar (Beristri empat itu baru 'Urang Banjar'.)
Awalnya, adagium di atas saya kira hanya ungkapan bagayaan atau bercanda ala urang Banjar semata yang memang dikenal jagau (jago ;bhs Banjar) membuat pantun dengan rima yang rapi secara spontan.Â