Apalagi poligami diyakini tidak bertentangan dengan konsep syariah Islam, agama resmi sekaligus agama mayoritas kesultanan Banjar sampai era Banjar modern, asal syarat-syaratnya terpenuhi.
Dalam perjalanannya, poligami bagi kaum pria atau Lakian Banjar tidak sekedar maumpati atau mengikuti para panutan di atas, tapi berkembang lagi untuk melengkapi kesempurnaan, yaitu kesugihan, kehebatan, keilmuan dan ibadah. Misalnya, ada orang sugih atau kaya raya, belum sempurna kesugihannya kalau belum beristri lebih dari satu.
Para jagau (preman) kurang harat (hebat), jika hanya babini saikung haja (beristri satu), begitupula para ulama atau tuan guru, kurang lengkap atau mungkin kurang mantab keilmuan, kealiman serta ibadahnya jika babini saikung haja (beristri satu).
Tentang Kawin Badadiaman
Khusus untuk kawin badadiaman menurut Humaidy, “Pada awalnya masyarakat Banjar tidak mengenal istilah kawin badadiam atau kawin siri. Yang ada adalah kawin lari atau kawin tajun yang biasanya karena tak direstui orangtua.
Kawin siri baru dikenal dan marak dilakukan masyarakat Banjar, sejak Orde Baru menerbitkan PP Nomor 10 Tahun 1983 atau lebih dikenal dengan PP 10 yang melarang pegawai negeri menambah istri lebih dari satu, plus lahirnya UU Perkawinan yang memberi syarat ketat bagi mereka yang ingin berpoligami.
Lebih lanjut, dari hasil riset peneliti senior LK3 Banjarmasin ini juga terungkap, ada perbedaan mendasar dalam konsep nikah badadiam atau nikah siri pada masyarakat Banjar dengan tradisi nikah siri di Jawa atau daerah lainnya yang pada umumnya diniatkan untuk menjaga diri dari terjatuh kepada perilaku zina.
Selain itu, nikah siri biasanya akan menuju kepada pernikahan resmi di KUA dalam waktu yang tak ditentukan.
Maka dalam tradisi kawin badadiaman, kebanyakan laki-laki yang melakukan nikah siri sudah beristri atau masih punya istri. Jadi, yang dinikahi secara siri adalah calon istri kedua, ketiga dan keempat dengan motif beragam, seperti takut pada istri pertama, ekonomi, pemenuhan seksual, gengsi, birokrasi yang bertele-tele, mencari keturunan dan lain-lain.
Kalau diurutkan secara kuantitatif, pelaku nikah badadiaman paling banyak diurutan pertama adalah urang sugih atau orang kaya yang biasanya adalah pengusaha (pedagang, penambang) dan pejabat negara.
Disusul di urutan kedua, Bubuhan (kelompok) Tuan Guru/ulama yang sudah kondang dan mungkin belum berani berterus terang. Diurutan ketiga ada bubuhan para jagau alias preman yang kebetulan terkenal jago, tapi takut para istrinya akan bertengkar,” kata Humaidy.
Kesimpulannya, hasil dari penelitian peneliti senior budaya Banjar Humaidy di atas, semakin memperjelas posisi dan hubungan “tradisi” kawin badadiaman yang mulai dikenal masyarakat Banjar di era 80-an dengan poligami yang masih melekat dalam budaya masyarakat Banjar sampai sekarang.