Mohon tunggu...
kaekaha
kaekaha Mohon Tunggu... Wiraswasta - Best in Citizen Journalism 2020

(Mantan) Musisi, (mantan) penyiar radio dan (mantan) perokok berat yang juga penyintas kelainan buta warna parsial ini, penikmat budaya nusantara, buku cerita, sepakbola, kopi nashittel, serta kuliner berkuah kaldu ... ingin sekali keliling Indonesia! Email : kaekaha.4277@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memasyarakatkan, Pentingnya Tes Buta Warna Sejak Dini

24 Mei 2016   02:24 Diperbarui: 24 Mei 2016   07:59 2944
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Coba bayangkan, Seandainya tiap tahun di Indonesia ada 1.000 saja generasi emas bangsa ini dari seluruh penjuru tanah air yang bernasib sama seperti Bintang yang salah memilih cita-cita karena buta warna, tentu bangsa Indonesia telah rugi besar! Kehilangan banyak generasi emas yang semestinya potensi dan kemampuannya bisa diarahkan dari awal sehingga kedepan bisa diberdayakan untuk pembangunan Indonesia sesuai dengan potensi dan bidang kemampuannya masing-masing.

Ada yang bisa baca? (Foto : Koleksi Pribadi)
Ada yang bisa baca? (Foto : Koleksi Pribadi)
Untuk aplikasi tes buta warna, menurut saya bisa dimulai sejak kelas 2 atau 3 SD atau paling lambat kelas 6 SD, dengan asumsi dan pertimbangan siswa kelas 3 atau 4 SD sudah bisa mengenali angka dan huruf secara baik, hal ini berkaitan dengan aplikasi tes buta warna yang dikenal dengan test Ichihara yang memakai metode mengenali angka/huruf dan di usia-usia itu bagi orang tua atau guru yang sudah mempunyai peta potensi anak didik bisa memulai menanamkan sebanyak-banyaknya wawasan cita-cita/profesi yang relevan di alam bawah sadar anak-anak dengan menyesuaikan tingkatan usia atau kelasnya.

Tes buta warna, seharusnya memang menjadi domain dari praktisi kedokteran khususnya spesialis mata. Hal ini terkait dengan data-data medis yang mungkin diperlukan. Misalkan, jika seseorang dinyatakan buta warna parsial. 

Bila diperlukan dokter mata bisa merincikan lebih detail masuk parsialnya di warna apa? Tapi karena fakta kebutuhan di lapangan, tidak pernah memerlukan data spesifikasi buta warna jenis apa dari dokter, tapi justeru sebaliknya meminta keterangan tidak buta warna. Di lapangan, buta warna ya buta warna, tidak ada toleransi apapun! Maka, menurut saya tes buta warna mandiri bisa dilakukan siapa saja. Jadi menurut saya sangat penting bahkan sangat perlu untuk memasyarakatkan tes buta warna sejak dini kepada masyarakat.

3 Tulisan terpilih (Grafis : citizen6.liputan6.com)
3 Tulisan terpilih (Grafis : citizen6.liputan6.com)
Saya telah beberapa kali berusaha mewujudkan mimpi saya untuk memasyarakatkan test buta warna kepada masyarakat Indonesia. Berbagai cara yang saya mampu telah saya lakukan. 

Sebelum media internet berikut produk turunannya seperti media sosial berkembang seperti sekarang, saya telah memulai dengan menulis artikel di media cetak khususnya koran dan ketika saya masih aktif siaran di salah satu jaringan radio swata ternama di Banjarmasin di pertengahan tahun 2000-an saya sudah sering menyisipkan tematik kelainan buta warna dalam berbagai kemasan, seperti dalam dialog dengan tema khusus dan  adlib (ad libitum)  atau iklan yang diucapkan dengan spontan dan full improvisasi. 

Setelah, era internet dan media sosial merebak, saya membuat grup buta warna di beberapa media sosial, menulis artikel via blog dan salah satu yang menurut saya paling menjajikan, saat itu adalah ketika ide saya untuk membuat start up tentang buta warna dengan nama ButawarnaIndonesia.com yang bersifat sosial alias gratis...tis...tis mendapatkan apresiasi dalam sebuah lomba ide start up yang diselenggarakan oleh media official dari acara Startup Asia Jakarta 2013 yang saat itu di sponsori oleh Tech In Asia. 

Di situ, selain mendapatkan kesempatan untuk presentasi dihadapan para investor dan pengembang, saya juga bisa banyak belajar dari beberapa founder start up ternama di level asia. 

Memang ada beberapa yang merespon ide saya, baik via telepon maupun email, tapi karena ada beberapa perbedaan visi dan beberapa kendala teknis akhirnya respon dari beberapa pihak yang memberi apresiasi ide saya akhirnya berhenti ditengah jalan dan sayangnya lagi, respon dan apresiasi pemerintah yang saya tunggu-tunggu tidak pernah muncul sampai sekarang! Padahal menurut saya, pemerintah sangat berkepentingan dengan masalah ini. 

Saya berpikir, siapa lagi yang bisa diharapkan untuk memasyarakatkan tes buta warna sejak dini kalau bukan kita-kita? Kalau perlu kita bisa keliling Indonesia untuk sosialisasinya! Ada yang mau ikut? Atau paling tidak mau jadi sponsor?  Atau mungkin ada dokter spesialis mata, pengembang dan investor yang berminat membantu saya mewujudkan butawarnaindonesia.com yang bersifat murni sosial?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun