Dari hari ke hari, waktu ke waktu, niat dan tekad Bintang  semakin bulat, berusaha semaksimal mungkin untuk terus menjaga, membangun sekaligus memperjuangkan mimpi dan cita-citanya menjadi dokter. Begitu juga dengan kedua orang tuanya! Ibaratnya, beliau berdua tidak lagi segan menjadikan kaki sebagai kepala dan kepala menjadi kaki demi mendukung cita-cita besar putranya si-Bintang.Â
Tapi sayang, semuanya menjadi berantakan dan harus hancur lebur berkeping-keping justru ketika satu kaki Bintang sudah menginjaknya. Bintang memang diterima di salah satu fakultas kedokteran di salah satu perguruan tinggi ternama melalui jalur tes akademik tertulis, sayang Bintang akhirnya harus mengubur cita-cita besarnya, karena saat tes kesehatan dinyatakan menyandang kelainan buta warna!Â
Tapi yang paling membuat Bintang kecewa, bukan hanya karena menyandang buta warna saja, tapi juga karena tidak adanya akses formal dalam sistem perencanaan pendidikan kita yang memberikan wawasan dan aplikasi test buta warna sejak dini, sehingga blueprint potensi besar anak-anak Indonesia, termasuk si-Bintang bisa terpetakan sejak dini pula. Secara logika, seandainya si-Bintang sejak awal menyadari dan mengetahui statusnya sebagai penyandang buta warna, tentu dia "tahu diri" untuk tidak memaksakan dirinya bermimpi setinggi langit apalagi mengejarnya pula!
Kemungkinan lainnya, energi dan waktu yang dimiliki bisa dimanfaatkan lebih efektif dan efisien untuk membangun dan merengkuh mimpi yang lain yang lebih sesuai dengan statusnya sebagai penyandang kelainan buta warna, dengan begitu "kerugian" material dam non material bisa dihindari sejak dini pula.Â
Kalau sudah terlanjur begini, nasi mungkin telah menjadi bubur! Waktu yang sudah dilewati tidak mungkin diputar kembali untuk merevisi cita-cita sekaligus memperjuangkannya kembali, sementara untuk merubah haluan dengan membangun cita-cita baru tentu bukan tanpa resiko dan pilihan ini pun juga bukan perkara yang mudah bukan?Â
Permasalahan seputar kelainan buta warna berikut pemberdayaan bagi penyandangnya, sepertinya memang belum masuk dalam skala prioritas perhatian pemerintah melalui lembaga terkait seperti Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan, Departemen Sosial dan atau departemen lainnya yang membidangi pemberdayaan SDM masyarakat.Â
Buktinya, ya munculnya fenomena-fenomena faktual di masyarakat seperti kisah Bintang diatas yang saya yakin keberadaannya seperti fenomena "gunung es" alias hanya nampak bagian puncaknya saja, sedang  bagian tengah dan kaki gunung yang lebih tambun tertutup oleh indahnya biru samudra!Â
Selain itu, dengan tidak adanya sosialisasi menyebabkan masyarakat Indonesia relatif tidak familiar, bahkan bisa jadi tidak mengenal seluk beluk kelainan buta warna berikut konsekuensi bagi penyandangnya.Â
Padahal, seandainya pemerintah secara formal menjadikan aplikasi tes buta warna sejak dini kepada semua anak-anak Indonesia, maka hasil test bisa dijadikan sebagai dasar bagi pemetaan potensi SDM masyarakat Indonesia di masa yang akan datang dan ini akan membantu orang tua dan pemerintah sendiri dalam upaya merencanakan sekaligus mengarahkan pilihan jalur pendidikan yang tepat dan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing individu anak-anak Indonesia, sehingga kemungkinan salah memilih cita-cita seperti si Bintang tidak akan terjadi lagi!Â