Pemenang Nobel Ekonomi Joseph Stiglitz, dalam artikelnya yang berjudul Beyond GDP, menyatakan bahwa "what we measure affects what we do."
Dalam konteks pertanian berkelanjutan, pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa kehadiran sebuah indikator yang dapat mengukur pertanian berkelanjutan sangatlah penting untuk memastikan bahwa sektor pertanian kita tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan generasi saat ini tapi juga generasi mendatang tanpa mengurangi kapasitasnya.
Hasil pengukuran secara objektif dibutuhkan untuk menetapkan target, memonitor progres, mengevalusi capaian, dan melakukan perbandingan antar wilayah. Sayangnya, dalam konteks Indonesia indikator yang memenuhi harapan untuk hal tersebut belum tersedia.
Isu pertanian berkelanjutan merupakan bagian integral dari pembangunan berkelanjutan, khususnya terkait pencapain Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals) atau SDGs, yakni Zero Hunger.
Untuk Indonesia, isu ini tidak kalah krusial karena menyangkut kebutuhan pangan hampir 300 juta populasi yang terus tumbuh. Selain itu, sektor pertanian juga memainkan peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja.
Sejumlah tantangan yang dihadapi sektor pertanian nasional, seperti rendahnya tingkat produktivitas dan efisiensi, adopsi teknologi yang belum memadai, penguasaan lahan yang sempit dan terfragmentasi serta ketergantungan pada pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan memperlihatkan bahwa keberlanjutan pertanian kita dalam tekanan.
Transformasi ekonomi yang terus menggerus sumber daya lahan pertanian dan tekanan pertumbuhan jumlah penduduk menjadikan beban sektor pertanian nasional juga semakin berat.
Meskipun pertanian berkelanjutan telah disadari merupakan isu penting pembangunan pertanian nasional, kajian mengenai pengukuran pertanian berkelanjutan secara komprehensif dan berskala nasional di Indonesia baru hanya sebatas tataran teoritis dan konseptual.
Identifikasi metode dan kerangka pengukuran serta indikator yang dapat mewakili dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari pertanian berkelanjutan yang relevan dengan konteks Indonesia telah banyak dilakukan.
Sayangnya, pada tataran praktis hasil pengukuran pertanian berkelanjutan yang dapat menjadi pijakan kebijakan pembangunan pertanian nasional belum tersedia. Ini merupakan gap praktis yang mendesak untuk segera diatasi.
Dalam praktiknya, pengukuran pertanian berkelanjutan sangatlah kompleks karena melibatkan penilaian melalui sejumlah indikator yang harus merepresentasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari konsep keberlanjutan secara komprehensif dan memuaskan.
Tantangan utamanya adalah ketersediaan data.
Dukungan Sensus Pertanian 2023
Sensus Pertanian 2023 (ST2023) yang saat ini sedang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan solusi atas kelangkaan data (data gap) dalam pengukuran pertanian berkelanjutan di Indonesia.
ST2023 dirancang untuk menyediakan berbagai indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan pertanian untuk pengukuran tingkat keberlanjutan sektor pertanian nasional secara komprehensif melalui pencacahan lengkap seluruh unit usaha pertanian pada tahun 2023 serta Survei Ekonomi Pertanian (SEP) dan Survei Produksi dan Lingkungan Pertanian (SPLP) pada tahun 2024.
SEP dan SPLP merupakan adopsi dari Agricultural Integrated Survey (AGRIS) yang direkomendasikan oleh Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO). AGRIS dirancang secara khusus untuk menyedikan indikator pertanian berkelanjutan di sektor pertanian atau farm-based SDG indicators.
Salah satu indikator SDG yang dapat dihasilkan dari pelaksanaan SEP dan SPLP adalah indikator 2.4.1, yakni proporsi lahan pertanian di bawah pertanian produktif dan berkelanjutan. FAO merekomendasikan untuk menghitung indikator ini setiap tiga tahun sekali.
Indikator yang mengukur tingkat keberlanjutan sektor pertanian melalui sebelas indikator yang mewakili dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan ini dapat menjadi alternatif pengukuran pertanian berkelanjutan di Indonesia.
Namun patut diperhatikan bahwa indikator ini dibangun untuk memonitor dan mengevaluasi capain pertanian berkelanjutan dalam konteks global serta untuk melakukan perbandingan antar negara. Dengan kata lain, semua indikator yang digunakan belum tentu relevan untuk konteks Indonesia.
Pada akhirnya, pengukuran pertanian berkelanjutan harus sejalan dengan prioritas isu dan tantangan pertanian berkelanjutan yang dihadapi setiap negara, yang cenderung spesfik, agar kebijakan yang diambil betul-betul tepat dan efektif.
Karena itu, dalam konteks Indonesia, pengukuran pertanian berkelanjutan melalui sejumlah indikator yang mewakili karakteristik pertanian Indonesia (site-specific) tetap dibutuhkan untuk melengkapi indikator SDG 2.4.1.
Selain itu, kita juga membutuhkan pengukuran yang dapat memberikan gambaran mengenai dinamika tingkat pertanian berkelanjutan antar waktu (setiap tahun) dengan tingkat penyajian informasi hingga level kabupaten dan kota. Secara operasional, kebutuhan ini relatif sulit dipenuhi melalui indikator 2.4.1.
Tantangan ini dapat diatasi dengan mengembangkan metode pengukuran alternatif yang memanfaatkan hasil SEP dan SPLP yang sangat kaya. Karena itu, kedua survei ini harus dilakukan secara rutin setiap tahun.
Keberlangsungan pelaksanaan SEP dan SPLP setiap tahun dapat menjamin ketersedian data untuk pengukuran pertanian berkelanjutan yang relevan dengan karakteristik pertanian Indonesia.
Dengan demikian, kelangkaan data yang merupakan penyebab utama tidak tersedianya indikator yang menjadi tolak ukur penilaian pertanian berkelanjutan di Indonesia selama ini dapat terselesaikan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H