Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Efektivitas Subsidi Pupuk

6 Februari 2021   11:29 Diperbarui: 6 April 2021   16:15 623
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pupuk bersubsidi dari pemerintah Republik Indonesia (Dok. Humas Kementan) via Kompas.com

Dengan rasa kesal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan efektivitas subsidi pupuk dalam mendongkrak produksi pertanian dalam beberapa tahun terakhir. Sejak 2016, anggaran belanja negara untuk subsidi pupuk rata-rata mencapai sekitar Rp 30 triliun per tahun. 

Sayangnya, dampaknya terhadap produksi pertanian relatif minim. Sejumlah komoditas pangan masih mengandalkan impor karena produksi domestik yang tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri. 

Salah satu persoalan mendasar dalam program pupuk bersubsidi adalah ketepatan sasaran yang berpangkal pada akurasi data penerima bantuan yang masih memiliki sejumlah kelemahan. Mengatasi persoalan ini adalah kunci keberhasilan reformasi kebijakan subsidi pupuk.

Hingga saat ini, pemenuhan kebutuhan sejumlah pangan strategis masih mengandalkan impor karena produksi domestik yang belum mampu memenuhi permintaan dalam negeri. Kondisi ini mengakibatkan stabilitas harga di dalam negeri sangat dipengaruhi kondisi eksternal. 

Contoh kasus terkait hal ini adalah komoditas kedelai yang mengandalkan pasokan dari Amerika Serikat. Kendala pasokan di bulan Desember memicu kenaikan harga kedelai yang menyebabkan produsen tahu-tempe mogok produksi selama tiga hari.

Selama ini, alokasi anggaran untuk subsidi pupuk tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan dalam memacu produksi komoditas pertanian, khususnya tanaman pangan.

Hasil analisis Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan, anggaran subsidi pupuk tumbuh sepuluh kali lipat dari tahun 2006 hingga 2015 (1.088 persen). Namun, pada periode yang sama, nilai tambah sektor pertanian hanya naik sekitar 38 persen. Hal yang sama berlaku untuk produktivitas pertanian yang hanya meningkat 14 persen.

Meskipun dampaknya minimal, subsidi pupuk sebetulnya masih dibutuhkan sebagian besar petani. Berkat program intensifikasi selama puluhan tahun, pupuk telah menjadi salah satu input utama produksi pertanian. Hingga saat ini, hampir semua petani menggunakan pupuk dalam produksi komoditas tanaman pangan. 

Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Pangan (SOUT) tahun 2017 menunjukkan bahwa porsi biaya pupuk masing-masing menyumbang 9,43 persen dan 13,44 persen terhadap total biaya produksi padi sawah dan jagung untuk satu musim tanam. 

Subsidi pupuk sangat penting bagi petani skala kecil atau petani gurem, yang merupakan porsi terbesar petani di Indonesia. Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa sekitar 58 persen rumah tangga pertanian hanya menguasai kurang dari 0,5 hektar lahan pertanian. 

Bagi mereka, yang dekat dengan kemiskinan, mendapatkan pupuk dengan harga lebih murah sangat membantu. Karena itu, subsidi pupuk bukan hanya soal meningkatkan produktivitas pertanian tapi juga mengamankan pendapatan dan daya beli jutaan petani beserta keluarganya.

Namun, kekesalan Jokowi menegaskan perlunya reformasi kebijakan subsidi pupuk dipercepat. Penyalurannya harus lebih tepat sasaran untuk meningkatkan efektivitas belanja pemerintah. Terkait dengan hal tersebut, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) telah menyoroti bahwa salah satu persoalan utamanya adalah penyaluran pupuk bersubsidi tidak tepat sasaran. 

Tantangan utama adalah ketersediaan data penerima manfaat yang akurat sehingga penentuan jumlah alokasi subsidi yang tepat menjadi persoalan. Hingga saat ini, penetapan alokasi didasarkan pada sistem yang disebut Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK).

Melalui sistem elektronik ini, setiap kelompok tani yang didampingi petugas penyuluh atau dinas pertanian membuat proposal yang berisi informasi anggota yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi.

Informasi tersebut terdiri dari nama, alamat dan luas lahan pertanian yang diusahakan. Semua proposal kemudian direkapitulasi dan diverifikasi secara bertahap oleh Dinas Pertanian di tingkat kabupaten dan provinsi untuk diserahkan ke Kementerian Pertanian (Kementan). 

Berdasarkan rekapitulasi yang terverifikasi, Kementan menetapkan alokasi subsidi pupuk dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran. Karena itu, tidak semua petani di e-RDKK akan menjadi penerima manfaat.

Meskipun menggunakan sistem elektronik, e-RDKK masih mengalami beberapa keterbatasan. Proses registrasi, verifikasi, dan validasi seringkali cukup lama sehingga membuat datanya tidak up-to-date. Selain itu, data yang dihimpun dari e-RDKK hanya mencakup petani yang menjadi anggota kelompok tani, sedangkan data BPS menunjukkan bahwa sekitar 44 persen petani tidak tergabung dalam kelompok tani manapun. 

Artinya, mereka tidak memiliki peluang untuk menjadi penerima subsidi pupuk. Persyaratan mengusahakan lahan pertanian tidak lebih dari 2 hektar untuk dicantumkan dalam e-RDKK juga cenderung mengurangi pelaung petani kecil untuk mendapatkan bantuan subsidi. SOUT menunjukkan bahwa petani dengan penguasaan lahan pertanian kurang dari 2 hektar cenderung tidak menjadi anggota kelompok tani.

Ke depan, program subsidi pupuk harus difokuskan pada petani kecil (petani gurem) untuk menjaga pendapatan dan daya beli yang diperoleh dari usaha pertanian. Program subsidi pupuk juga harus melengkapi program perlindungan sosial dan subsidi di bidang pertanian lainnya. Oleh karena itu, tarnsformasi program subsidi pupuk menjadi Bantuan Langsung Petani (BLP) seperti yang diusulkan oleh TNP2K harus terus diadvokasi. 

Dengan skema ini, petani sasaran hanya perlu menggunakan voucher atau Kartu Tani untuk mendapatkan pupuk di pasar dengan harga yang disubsidi. Skema seperti ini juga dapat mengatasi masalah penyalahgunaan pupuk bersubsidi di lapangan. 

Agar tepat sasaran, data target yang lebih baik dan terintegrasi, yang juga mencakup petani di luar e-RDKK, adalah sebuah keharusan. Terkait hal ini, hasil Sensus Pertanian yang akan dilaksanakan pada tahun 2023 dapat dijadikan basis data awal untuk dimutakhirkan secara berkala.

Terkait pupuk, persoalan yang juga tidak kalah penting adalah semakin tingginya ketergantungan petani kita pada pupuk kimia atau anorganik. Seringkali, penggunaan pupuk kimia tersebut cenderung berlebihan sehingga dapat mengakibatkan pertanian menjadi tidak produktif dan berkelanjutan dalam jangka panjang. 

Hasil SOUT menunjukkan bahwa banyak petani di Jawa yang menggunakan lebih dari 500 kg Urea untuk satu hektar penanaman padi dalam satu musim tanam. Praktik ini tentu saja melebihi batas yang direkomendasikan sekitar 200-300 kg per hektar per musim tanam.

Jika ketergantungan pada pupuk kimia dan penggunaan secara berlebihan tersebut terus berlanjut, degradasi  kualitas alamiah tanah tidak dapat dihindari. Hal ini termanifestasi dalam bentuk menipisnya unsur hara dan mineral penting tanah yang secara alami ditemukan di tanah subur. 

Celakanya, hasil Survei Pertanian Terintegrasi (SITASI) yang dilakukan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat tahun lalu menunjukkan bahwa produksi pertanian di tiga provinsi tersebut tidak berkelanjutan dalam hal penggunaan pupuk. 

Sekitar 60 persen lahan pertanian di tiga provinsi tersebut menggunakan pupuk tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, seperti degradasi tanah. Karena itu, kita harus secara bertahap mengurangi penggunaan pupuk kimia secara ekstensif dan mempromosikan penggunaan pupuk organik untuk menjaga kesuburan tanah. 

Untuk itu, meningkatkan komersialisasi pupuk organik dengan mendorong industri produksi pupuk organik dalam negeri menjadi sangat vital. Bersamaan dengan itu, pemerintah harus meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya beralih dari pupuk kimia intensif ke penerapan pupuk organik dan anorganik berimbang. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun