Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penuaan Petani dan Peran Generasi Milenial

1 Mei 2019   08:57 Diperbarui: 1 Mei 2019   21:36 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potret yang disajikan Gambar 2 mengkonfirmasi adanya kecenderungan bahwa generasi muda negeri ini enggan atau kurang tertarik untuk bergelut di sektor pertanian. Tak bisa dimungkiri, stigma yang melekat pada profesi petani adalah pekerjaan kotor dengan pakaian berlumpur, kurang bisa dibanggakan, ketinggalan zaman, dan pendapatan yang rendah.

Meski tidak sepenuhnya benar, statistik menunjukkan bahwa profesi petani dan sektor pertanian memang identik dengan kemiskinan. Data BPS memperlihatkan bahwa kemiskinan negeri ini merupakan fenomena sektor pertanian pedesaan. BPS mencatat, sebagian besar penduduk miskin (61 persen) merupakan penduduk perdesaan. Sekitar 65 persen dari mereka berasal dari rumah tangga dengan pekerjaan utama kepala rumah tangga di sektor pertanian.

Salah satu penyebab utama sektor pertanian negeri ini menjadi pusat kemiskinan adalah rendahnya pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha tani. Hal ini terjadi karena banyak hal, seperti produktivitas yang rendah, tingginya ongkos usaha tani kerena biaya input (benih, pupuk, dan pestisida) yang mahal, kurangnya akses permodalan, dan skala usaha tani (luas lahan garapan) yang jauh di bawah skala ekonomi yang menguntungkan.

Faktanya, banyak petani kita masih mengandalkan praktek budidaya pertanian yang sudah ketinggalan zaman, yang cenderung padat karya dan tidak berkelanjutan. 

Kondisi ini berujung rendahnya efisiensi dan produktivitas usaha tani. Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Pangan (SOUT) yang dilaksanakan BPS pada 2017, misalnya, menunjukkan bahwa seperempat dari total rumah tangga usaha tanaman padi sawah masih mengandalkan tenaga hewan dan manusia dalam proses pengolahan lahan. 

Hasil SOUT 2017 juga menunjukkan bahwa akses petani terhadap lembaga perbankan masih sangat terbatas. Jumlah rumah tangga usaha tanaman padi sawah yang mengakses pinjaman dari bank hanya sebesar 29 persen.

Rata-rata luas lahan pertanian yang diusahakan petani juga relatif kecil. Hasil SUTAS menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga usaha tani (58 persen) merupakan rumah tangga petani gurem dengan luas lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Laju konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, seperti perumahan, kawasan industri, dan proyek infrastruktur yang cukup pesat juga membatasi akses petani untuk menguasai lahan pertanian yang lebih luas. 

Selain itu, banyak petani negeri ini hanya berprofesi sebagai petani penggarap tanpa kepemilikan lahan. Tidak sedikit di antara mereka mengelola lahan pertanian dengan sistem bagi hasil sehingga pendapatan yang diperoleh dari kegiatan usaha tani tidak maksimal.

Tidak membuat heran, jika generasi muda umumnya, termasuk mereka yang lahir dan besar dari keluarga petani, lebih mengimpikan pekerjaan kantoran yang dianggap lebih moderen dengan upah yang lebih tinggi, tempat kerja yang nyaman, dan dihargai masyarakat. Bahkan, orang tua yang berprofesi sebagai petani pun mendambakan anaknya untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik di luar sektor pertanian.

Perbaikan kualitas sumber daya manusia perdesaan, khususnya tingkat pendidikan, juga kurang berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia di sektor pertanian. Pendidikan yang lebih baik justru dianggap sebagai tiket untuk memperoleh pekerjaan yang lebih menjanjikan di luar sektor pertanian, tentu saja dengan bermigrasi ke kota. 

Hasil SUTAS mengkonfirmasi bahwa dari sisi capaian pendidikan, profil petani kita tidak banyak berubah. Sektor pertanian negeri ini tetap didominasi petani berpendidikan rendah (tidak bersekolah dan hanya tamat sekolah dasar). Kondisi ini tentu bakal menghambat inovasi dan introduksi teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun