Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Defisitnya Dana BPJS dan Tingginya Angka Konsumsi Rokok

15 November 2017   17:11 Diperbarui: 26 November 2017   08:48 4509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dilaporkan mengalami defisit. Nominalnya cukup besar, yakni mencapai Rp 9 triliun. Menariknya, salah satu solusi yang diusulkan untuk menambal defisit tersebut adalah penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang diperkirakan bisa mencapai Rp 5 triliun. Menteri Kesehatan juga mengimbau masyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat. Dengan demikian, ongkos pengobatan yang harus dikeluarkan BPJS dapat ditekan seiring berkurangnya jumlah keluhan kesehatan.

Penggunaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS sebetulnya sebuah ironi. Besarnya dana hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsumsi produk tembakau, khususnya rokok, di tanah air. Padahal kita tahu bahwa secara medis kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab utama sejumlah penyakit berat yang menyedot ongkos pengobatan yang tidak sedikit.

Menteri Kesehatan sendiri pernah menyampaikan bahwa 30 persen dana BPJS ternyata terserap untuk pengobatan penyakit-penyakit berat seperti stroke dan gagal ginjal, yang secara medis seringkali disebabkan oleh konsumsi rokok (Setkab, 27 Februari 2015).

Seperti apa sebetulnya gambaran konsumsi rokok di tanah air sehingga bisa menghasilkan penerimaan negara berupa cukai yang cukup besar?

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memotret kuantitas dan pola konsumsi masyarakat Indonesia mengungkap sejumlah fakta menarik terkait konsumsi rokok di Tanah Air.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Hasil SUSENAS yang dilaksanakan pada September 2016 menunjukkan bahwa konsumsi rokok masyarakat Indonesia relatif tinggi. Sebagai gambaran, rata-rata jumlah rokok kretek yang dikonsumsi oleh perokok berumur lima tahun ke atas pada September 2016 mencapai 7,86 batang per hari. Sementara itu, konsumsi rokok putih rata-rata sebanyak 2,59 batang per hari.

Sebagian besar perokok di tanah air juga mulai merokok pada usia yang boleh dibilang sangat muda. Bayangkan, sekitar 62 persen perokok berusia lima tahun ke atas mulai merokok pada usia di bawah 20 tahun. Itu artinya, mayoritas perokok di tanah air mulai mengisap rokok saat duduk di bangku SMP dan SMA.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Hasil SUSENAS juga memperlihatkan bahwa sebagian besar perokok berumur lima tahun ke atas ternyata melakukan kebiasaan merokoknya di dalam rumah dengan persentase mencapai sekitar 75 persen.

Padahal dipahami bersama bahwa udara yang dicemari oleh asap rokok sangat berbahaya buat kesehatan. Asap rokok yang dihasilkan oleh perokok aktif justru mengandung racun hasil pembakaran tembakau lebih banyak dibandingkan dengan asap utama yang dihisap oleh perokok.

Konsekuensinya, para perokok pasif lebih berisiko terkena dampak buruk yang ditimbulkan dari kebiasan merokok di dalam rumah. Celakanya, para perokok pasif tersebut tidak jarang merupakan kelompok balita.

Persoalan semakin pelik karena konsumsi rokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah juga sangat tinggi. Faktanya, sekitar 10 persen dari total pengeluaran rumah tangga pada kelompok pengeluaran 20 persen terendah dialokasikan untuk konsumsi rokok dan tembakau. Angka ini bahkan mengalahkan porsi pengeluaran yang dialokasikan untuk sumber protein, seperti daging, telur, ikan, dan susu.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun terakhir, rokok merupakan salah satu komoditas utama dalam perhitungan garis kemiskinan. Pada Maret 2017, misalnya, BPS mencatat bahwa kontribusi rokok dalam pembentukan garis kemiskinan di wilayah perkotaan dan pedesaan masing-masing sebesar 11,79 persen dan 11,53 persen. Kontribusi pengeluaran untuk rokok menempati posisi kedua setelah beras yang mencapai 20,11 persen di perkotaan dan 26,46 persen di pedesaan.

Padahal dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang hampir pasti tidak bisa ditanggung oleh masyarakat miskin dan mau atau tidak pada akhirnya akan menjadi beban negara.

Karena itu, sejalan dengan anjuran Menteri Kesehatan ihwal pola hidup sehat, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih keras dalam menekan tingkat konsumsi rokok di tanah air. Kampanye dan kebijakan antirokok yang lebih tegas dan serius adalah sebuah keniscayaan. Meski penerimaan negara dari cukai rokok berpotensi bakal berkurang akibat penurunan konsumsi rokok, ongkos kesehatan untuk pengobatan penyakit berat ---sebagai dampak dari kebiasaan merokok--- yang selama ini membebani dana BPJS dipastikan dapat ditekan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun