Tahun ini dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dilaporkan mengalami defisit. Nominalnya cukup besar, yakni mencapai Rp 9 triliun. Menariknya, salah satu solusi yang diusulkan untuk menambal defisit tersebut adalah penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau yang diperkirakan bisa mencapai Rp 5 triliun. Menteri Kesehatan juga mengimbau masyarakat untuk membiasakan pola hidup sehat. Dengan demikian, ongkos pengobatan yang harus dikeluarkan BPJS dapat ditekan seiring berkurangnya jumlah keluhan kesehatan.
Penggunaan cukai rokok untuk menambal defisit BPJS sebetulnya sebuah ironi. Besarnya dana hasil cukai produk tembakau yang mencapai Rp 5 triliun tersebut menunjukkan tingginya tingkat konsumsi produk tembakau, khususnya rokok, di tanah air. Padahal kita tahu bahwa secara medis kebiasaan merokok merupakan salah satu penyebab utama sejumlah penyakit berat yang menyedot ongkos pengobatan yang tidak sedikit.
Menteri Kesehatan sendiri pernah menyampaikan bahwa 30 persen dana BPJS ternyata terserap untuk pengobatan penyakit-penyakit berat seperti stroke dan gagal ginjal, yang secara medis seringkali disebabkan oleh konsumsi rokok (Setkab, 27 Februari 2015).
Seperti apa sebetulnya gambaran konsumsi rokok di tanah air sehingga bisa menghasilkan penerimaan negara berupa cukai yang cukup besar?
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan secara rutin oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk memotret kuantitas dan pola konsumsi masyarakat Indonesia mengungkap sejumlah fakta menarik terkait konsumsi rokok di Tanah Air.
Sebagian besar perokok di tanah air juga mulai merokok pada usia yang boleh dibilang sangat muda. Bayangkan, sekitar 62 persen perokok berusia lima tahun ke atas mulai merokok pada usia di bawah 20 tahun. Itu artinya, mayoritas perokok di tanah air mulai mengisap rokok saat duduk di bangku SMP dan SMA.
Padahal dipahami bersama bahwa udara yang dicemari oleh asap rokok sangat berbahaya buat kesehatan. Asap rokok yang dihasilkan oleh perokok aktif justru mengandung racun hasil pembakaran tembakau lebih banyak dibandingkan dengan asap utama yang dihisap oleh perokok.
Konsekuensinya, para perokok pasif lebih berisiko terkena dampak buruk yang ditimbulkan dari kebiasan merokok di dalam rumah. Celakanya, para perokok pasif tersebut tidak jarang merupakan kelompok balita.
Persoalan semakin pelik karena konsumsi rokok pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah juga sangat tinggi. Faktanya, sekitar 10 persen dari total pengeluaran rumah tangga pada kelompok pengeluaran 20 persen terendah dialokasikan untuk konsumsi rokok dan tembakau. Angka ini bahkan mengalahkan porsi pengeluaran yang dialokasikan untuk sumber protein, seperti daging, telur, ikan, dan susu.
Padahal dampak kesehatan yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok membutuhkan biaya yang tidak sedikit, yang hampir pasti tidak bisa ditanggung oleh masyarakat miskin dan mau atau tidak pada akhirnya akan menjadi beban negara.
Karena itu, sejalan dengan anjuran Menteri Kesehatan ihwal pola hidup sehat, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih keras dalam menekan tingkat konsumsi rokok di tanah air. Kampanye dan kebijakan antirokok yang lebih tegas dan serius adalah sebuah keniscayaan. Meski penerimaan negara dari cukai rokok berpotensi bakal berkurang akibat penurunan konsumsi rokok, ongkos kesehatan untuk pengobatan penyakit berat ---sebagai dampak dari kebiasaan merokok--- yang selama ini membebani dana BPJS dipastikan dapat ditekan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H