Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money

Karut-Marut Sektor Pertanian

5 Agustus 2012   10:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Di masa lalu, negeri ini memiliki rekam jejak yang sangat mengesankan di sektor pertanian. Tengoklah sejumlah catatan berikut: (a) sebelum merdeka, kita adalah negara pengekspor gula terbesar di dunia; (b) hingga tahun 1970-an kita termasuk salah satu pengekspor sapi; (c) tahun 1984, negara ini swasembada beras dan gula, bahkan kita mampu mengekspor beras ke luar negeri, menjadikan harga beras di pasar internasional jatuh dari US$250 per ton menjadi US$150 per ton; (d) satu tahun kemudian, kita juga swasembada kedelai; (a) sampai dengan tahun 1990, kita menikmati swasembada garam.

Sayangnya, saat ini semuanya telah berbalik. Kini, 40 persen kebutuhan gula nasional harus kita impor. Setiap tahun kita juga harus mengimpor setara dengan 900 ribu ekor sapi untuk memenuhi kebutuhan daging nasional. Hari ini, kita dipusingkan dengan harga kedelai yang melambung karena 70 persen kebutuhan kedelai nasional harus diimpor. Begitupula dengan garam, kita adalah salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia, tapi 50 persen kebutuhan garam nasional lagi-lagi harus kita impor.

Miris. Itulah faktanya. Hari ini, kita telah menjadi salah satu negara importir komoditas pangan (tropis) terbesar di dunia. Pada tahun 2010, defisit perdagangan komoditas pangan negeri ini telah mencapai US$23 miliar. Artinya, selama ini, kita lebih banyak mengimpor pangan dari luar negeri ketimbang mengekspornya. Padahal, negeri yang luas daratannya mencapai 188,2 juta hektar ini telah diberkahi Tuhan dengan kesuburan tanah yang melegenda, tongkat kayu pun bisa jadi tanaman.

Salah urus

Semua ini tentu terjadi karena sektor pertanian yang salah urus. Ambisi untuk menjadi negara industri secara terburu-buru menjadikan kita abai terhadap sektor pertanian dan menelantarkannya. Konsekwensinya jelas, sektor pertanian terus terpuruk. Padahal, sebagian besar penduduk negeri ini (42 juta) bekerja dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.

Celakanya, di tengah karut-marutnya kinerja sektor pertanian dewasa ini, gejala deindustrialisasi (pelemahan sektor industri) kian menguat. Ini ditunjukkan oleh pertumbuhannya yang melambat dan pangsanya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) yang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Ini tentu mengkhawatirkan, jika kita gagal menjadi negara industri dan pada saat yang sama sektor pertanian kita berdarah-darah, mau jadi apa negeri ini.

Belakangan ini, kesadaran untuk mengembalikan vitalitas sektor pertanian memang menyeruak. Kita tentu ingat dengan Program Revitalisasi Pertanian yang dicanangkan Presiden SBY di Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, pada Juni 2005 lalu. Sayangnya, program ini hanya garang pada tataran konsep dan wacana. Hasilnya bisa kita lihat sendiri. Hingga kini, kinerja sektor pertanian belum memuaskan (baca: mengecewakan).

Salah satu sasaran revitalisasi sektor pertanian adalah mendorong pertumbuhan sektor pertanian agar dapat berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan di daerah perdesaan. Kita tahu, kemiskinan di negeri ini merupakan fenomena perdesaan, lebih khusus lagi sektor pertanian. Kenyataannya, hingga hari ini potret buram kemiskinan negeri ini tak kunjung beranjak dari sektor pertanian. Kesejahteraan petani dan buruh tani kita tak banyak berubah. Mereka tetap miskin. Ini ditunjukkan oleh perkembangan upah riil (daya beli) buruh tani yang terus merosot dan Nilai Tukar Petani (NTP) yang cenderung stagnan (lihat di sini).

Dan, Kondisi seperti ini sudah seharusnya tidak terus terjadi kala kita dipimpin oleh seorang presiden yang notabene adalah seorang doktor di bidang ekonomi pertanian. Sekedar diketahui, beliau merengkuh gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB) setelah berhasil merampungkan dan mempertahankan disertasinya yang bertajuk "Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal"

Kurang perhatian

Di negara maju pun, yang perekonomiannya lebih ditopang oleh sektor industri dan jasa, sektor pertanian mendapat posisi terhormat lagi mulai. Tidak ditinggalkan dan ditelantarkan begitu saja. Dalam sejarah peradaban dunia, tak satu pun negara maju di dunia ini yang mengesampingkan sektor pertanian. Mereka menjadi negara maju dengan sektor pertanian yang kuat.

Di negara maju, sektor pertanian diposisikan sebagai benteng ketahanan pangan (food security) yang langsung bertalian dengan pertahanan negara. Tidak heran kalau negara-negara maju begitu melindungi petaninya dan memanjakan mereka dengan subsidi dan insentif yang melimpah serta proteksi.

Mereka begitu getol memperjuangkan, bahkan memaksa negara lain agar menerima komoditas pertaniannya. Begitupula di forum internasional, seperti dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kita bisa menyaksikan bagaimana mereka begitu ngotot dan mati-matian membela petaninya.

Bandingkan dengan negeri ini, yang memutuskan untuk meliberalisasi sektor pertaniannya sejak kejatuhan rezim Orde Baru. Politik pangan murah menjadikan petani negeri ini kian terpuruk karena harga komoditas pertanian yang jauh dari kompetitif akibat serbuan komoditas pertanian impor.

Soal lahan pertanian juga serupa, kita dapati kenyataan bahwa luas lahan pertanian di negara-negara maju terus meningkat dari tahun ke tahun. Mereka begitu serius menjaga lahan pertaniannya. Amerika Serikat dan Australia, misalnya. Saat ini, AS memiliki lahan pertanian seluas 175 juta hektar, dengan luas lahan per kapita (rasio luas lahan terhadap jumlah penduduk) mencapai 0,61 hektar per orang. Sementara Australia, yang jumlah penduduknya hanya 19 juta, kini memiliki lahan pertanian seluas 50 juta hektar. Artinya, setiap orang di Australia menguasai 2,63 hektar lahan pertanian.

Bandingkan dengan negeri ini, yang luas lahan pertaniannya hanya sebesar 17,2 juta hektar (7,5 juta hektar sawah dan 9,7 juta lahan kering). Padahal, jumlah penduduknya mencapai 237,6 juta orang. Tidak mengherankan kalau luas lahan per kapita Indonesia hanya sebesar 0,06 hektar. Celakanya, kondisi ini kian diperparah dengan laju konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian yang berlangsung secara masif di depan mata. Ada data yang menyebutkan mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan hanya mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektar sawah baru setiap tahun.

Di negeri ini, tidak sedikit sawah beririgasi teknis diurug untuk pembangunan proyek-proyek real estate. Bukankah ini sama seperti yang dikatakan Mohammad Natsir (mantan Perdana Menteri Indonesia itu), "Kita membangun sambil merubuhkan." Semoga kondisi ini tidak terus berlanjut dan pemerintah mau sadar.(*)

Sumber data: BPS dan Kementan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun