Mohon tunggu...
Kadir Ruslan
Kadir Ruslan Mohon Tunggu... Administrasi - PNS

PNS di Badan Pusat Statistik. Mengajar di Politeknik Statistika STIS. Sedang belajar menjadi data story teller

Selanjutnya

Tutup

Money

Karut-Marut Sektor Pertanian

5 Agustus 2012   10:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:13 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Di negara maju, sektor pertanian diposisikan sebagai benteng ketahanan pangan (food security) yang langsung bertalian dengan pertahanan negara. Tidak heran kalau negara-negara maju begitu melindungi petaninya dan memanjakan mereka dengan subsidi dan insentif yang melimpah serta proteksi.

Mereka begitu getol memperjuangkan, bahkan memaksa negara lain agar menerima komoditas pertaniannya. Begitupula di forum internasional, seperti dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), kita bisa menyaksikan bagaimana mereka begitu ngotot dan mati-matian membela petaninya.

Bandingkan dengan negeri ini, yang memutuskan untuk meliberalisasi sektor pertaniannya sejak kejatuhan rezim Orde Baru. Politik pangan murah menjadikan petani negeri ini kian terpuruk karena harga komoditas pertanian yang jauh dari kompetitif akibat serbuan komoditas pertanian impor.

Soal lahan pertanian juga serupa, kita dapati kenyataan bahwa luas lahan pertanian di negara-negara maju terus meningkat dari tahun ke tahun. Mereka begitu serius menjaga lahan pertaniannya. Amerika Serikat dan Australia, misalnya. Saat ini, AS memiliki lahan pertanian seluas 175 juta hektar, dengan luas lahan per kapita (rasio luas lahan terhadap jumlah penduduk) mencapai 0,61 hektar per orang. Sementara Australia, yang jumlah penduduknya hanya 19 juta, kini memiliki lahan pertanian seluas 50 juta hektar. Artinya, setiap orang di Australia menguasai 2,63 hektar lahan pertanian.

Bandingkan dengan negeri ini, yang luas lahan pertaniannya hanya sebesar 17,2 juta hektar (7,5 juta hektar sawah dan 9,7 juta lahan kering). Padahal, jumlah penduduknya mencapai 237,6 juta orang. Tidak mengherankan kalau luas lahan per kapita Indonesia hanya sebesar 0,06 hektar. Celakanya, kondisi ini kian diperparah dengan laju konversi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian yang berlangsung secara masif di depan mata. Ada data yang menyebutkan mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan hanya mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektar sawah baru setiap tahun.

Di negeri ini, tidak sedikit sawah beririgasi teknis diurug untuk pembangunan proyek-proyek real estate. Bukankah ini sama seperti yang dikatakan Mohammad Natsir (mantan Perdana Menteri Indonesia itu), "Kita membangun sambil merubuhkan." Semoga kondisi ini tidak terus berlanjut dan pemerintah mau sadar.(*)

Sumber data: BPS dan Kementan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun