Mohon tunggu...
Suksma Kadek
Suksma Kadek Mohon Tunggu... -

Just ordinary girl, penyuka kehijauan, Bali lover

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bule Bilang, Bali itu…

8 November 2015   22:32 Diperbarui: 8 November 2015   23:19 1303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Zaman kuliah, saya, dan Devi, sahabat saya, punya cita-cita yang sama: dapet jodoh Bule. Bukan sembarang bule, tapi harus bule yang istimewa. Mungkin karena tinggal di Bali, ketemu bule itu hal biasa, jadi kita sudah bisa membedakan mana bule yang ‘layak’ dan ‘nggak layak’ dijadikan jodoh. Salah satu bule yang dijadikan patokan saya dan Devi adalah seniman besar Antonio Blanco. Kenapa Antonio Blanco? Bagi saya dan Devi, Antonio Blanco itu contoh bule yang ideal untuk dijadikan contoh ‘jodoh’ yang baik; bukan hanya ganteng, terkenal, kaya, tapi juga mencintai Bali (mau tinggal di Bali, berjodoh dengan orang Bali, dan yang penting juga, dia ikut memajukan dan memperkenalkan Bali ke dunia internasional).

Bagi pecinta seni, Antonio Blanco bukan nama sembarangan. Ia dikenal sebagai pelukis romantik-ekspresionis dengan perempuan sebagai sebagian besar objek lukisannya. Lukisan-lukisannya dikagumi dan dikoleksi oleh banyak orang terkenal, mulai dari Presiden Soekarno, Presiden Soharto, Wapres Adam Malik, Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja, artis telenovela Thalia, bahkan oleh King of Pop, almarhum Michael Jackson.

Nah, kenapa Antonio Blanco jadi ‘model’ dari bule idaman saya dan Devi, karena ia memiliki semua criteria yang saya dan Devi bikin; bule, tinggal di Bali, mencintai Bali, dan bisa mengangkat nama Bali ke dunia internasional. Sebagaimana diketahui, Antonio Blanco datang ke Bali tahun 1952 –masih di masa pemerintahan Soekarno. Ia jatuh cinta dengan Bali, dan juga seorang perempuan Bali bernama Ni Ronji, seorang penari yang kemudian dinikahinya tahun 1953. Antonio kemudian tinggal di Ubud dan mewujudkan mimpinya; meneruskan karir keseniannya dan membangun sebuah museum di atas tanah yang disumbang oleh Raja Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati. Museum itu bernama The Blanco Rennaissance Museum, diresmikan tahun 1998 dan menampung tak kurang dari 300 karyanya. Setahun setelah itu, lelaki kelahiran Manila tahun 1912 tetapi memiliki keturunan asal Spanyol dan Amerika itu, meninggal dunia. Ia kemudian dikebumikan dengan upacara adat Bali, Ngaben, tahun 1999, karena semenjak tinggal di Bali, ia kemudian beralih menjadi penganut Hindu.

Jelas kan, kenapa saya dan Devi menjadikannya model untuk ‘bule’ idaman kami? Tapi ya itu, ternyata nyari bule model begitu nggak gampang, hehe… bule di Bali nggak kurang-kurang. Yang ganteng model pemain film, yang kaya, yang biasa, yang acak-acakan, sampe yang kere, semuanya tersedia. Dan, syarat lain, yang mau sama kita juga nggak kurang (sebetulnya lebih banyak yang suka sama Devi sih, abis tongkrongannya yang Bali banget, kulit sawo matang eksotis, rambut hitam legam, langsing, senyumnya manis, hehe….). Tapi ya itu, jauh dengan kriteria idaman. Devi pernah berhubungan dengan salah satu bule asal Perancis, nama panjangnya lupa, yang inget panggilannya aja, Piere (kalo dia menyebutkan namanya terdengar seperti ‘piye’ kayak orang Jawa). Tongkrongannya lumayan, duitnya lumayan juga –manajer hotel, suka seni tapi bukan seniman. Tapi yang bikin Devi mundur kemudian adalah, si Piye itu mengajaknya nikah tapi kemudian mengikutinya (padahal waktu itu si Piye mau dipindahkan ke Karibia). Devi ogah dan milih putus.

Saya? Sebaliknya, kenal bule seniman, ketemunya di Ubud pas main ke museumnya Antonio Blanco itu. Potongan lumayan, tapi… kere haha… seniman belum jadi soalnya, baru calon, karena dia ngambil kuliah seni di Australia. Dan menurut pengamatan saya sih, seniman hebat seringkali nggak dilahirkan oleh bangku kuliah, tapi oleh bakat alam! Tapi, hubunganku sama si Bule terus berlanjut sampai dia kembali ke Australia sekalipun, just as a friend. Namanya Harry, bule Australia keturunan Irlandia.

Nah, si Bule ini, nyaris tiap tahun mengunjungi Bali sejak aku kenalan dengan dia sekitar tahun 2007-an. Sebelum kenal, ia sudah ke Bali dua kali. Dan setiap kali ke Bali, ia pasti menghubungi saya dan meminta menemaninya jalan-jalan. Hanya sekali saya nggak bisa menemaninya, karena pas waktu itu lagi ada acara di Jakarta. Setiap kali ketemuan dengan dia, salah satu tempat ‘kencan’ kami yang nggak pernah kelewat adalah museumnya Antonio Blanco itu, sisanya kemana aja, nyaris hampir seluruh pelosok Bali pernah kukunjungi sama dia, termasuk Nusa Penida.

Tiga hari yang lalu, ia berkunjung lagi dan mengajak saya ketemuan lagi. Ia beruntung, karena penerbangannya nyaris saja batal karena bandara Ngurah Rai sempat ditutup karena abu gunung Barujari. Dan saya batal ke Jakarta karena alasan yang sama dua hari sebelumnya. Mungkin emang dasarnya harus ketemu dia. Maka jadilah kamiu bertemu. Sekarang siah, ia sudah meninggalkan Bali menuju Frankfurt lewat Singapura, padahal sebelumnya ia baru saja dari Singapura sebelum ke Bali. Dan ia ke Bali pun karena ia sedang di Singapura dan menunggu keberangkatan ke Jerman, katanya, sambil menunggu lebih baik di ke Bali dulu. “Selalu ada yang membuat kangen di Bali!” katanya. Saya nggak mau nanya, takut kegeeran, hehe.. dan dia bilang sendiri kok, kalo yang bikin kangen di Bali itu adalah alam dan budayanya.

“Tapi kamu tau gak? Bagi sebagian orang, di Australia dan wisatawan Eropa lainnya, Bali sudah agak membosankan. Yang datang lebih banyak yang belum pernah, baru sekali, atau yang punya urusan bisnis…” katanya waktu kami berkendara dari bandara ke arah selatan menuju Nusa Dua sebelum melanjutkan ke Uluwatu. Saya penasaran dan menanyakan alasannya. “Nggak ada yang baru…” katanya. “Oke, alam dan budaya Bali tetap menarik bagi sebagian kalangan, terutama yang berpasangan. Tapi bagi yang berkeluarga, punya anak, itu nggak terlalu menarik. Bayangin aja, orang tuanya mungkin bisa menikmati alam dan budaya Bali, tapi anak-anaknya, mau ngapain?”

Saya berpikir sebentar, mungkin ia bener, selama yang kulihat, emang jarang banget wisatawan bule yang datang dengan anak-anaknya, lebih banyak berpasangan atau dengan temannya yang dewasa. Ia meneruskan, “Ini celah yang dimanfaatkan negara tetanggamu, terutama Malaysia. Secara alam dan budaya, mereka kalah dari negaramu. Tapi sebagai tempat liburan keluarga, di sana lebih lengkap. Orang tuanya bisa menikmati alam dan budaya, anak-anaknya tetap bisa menikmati hiburan modern, main ke Hello Kitty land atau Lego Land misalnya. Atau sama-sama nonton MotoGP terus main ke pantai. Sementara kalau ke Bali, anak-anaknya bisa bosan. Singapura oke, nggak punya sajian alam, tapi tujuan modern banyak, anak-anak main di Universal Studio, mungkin orang tuanya nonton F1.”

Saya diam lagi. “Yang dibutuhkan Bali sekarang adalah tujuan wisata baru, alam tetap, budaya terus, tapi harus punya daya tarik modern juga, biar para pelancong keluarga punya pilihan lengkap. Orang tuanya nonton upacara adat, anaknya main di wahana apa lah… kalau itu ada, kukira Bali akan menjadi pilihan yang sangat lengkap. Kukira kalau ada semacam Hello Kitty Land, Universal Studio, Disney Land, atau apapun, sejenisnya di Bali, negaramu nggak bakalan banyak kehilangan duit karena orang-orang kayanya lebih memilih main Singapura, atau yang malah lebih lucu kalau orang di negaramu pergi ke Malaysia hanya karena di sana ada sesuatu yang tak dimiliki di sini, padahal kalau soal alam, ngapain jauh-jauh buang duit ke Malaysia!”

“Kamu tau nggak? Kenapa Lego Land dan Hello Kitty Land dibangun di Johor Baru?” tanyanya. Aku menggeleng. “Itu karena Johor dekat dengan Singapura, dan Malaysia berusaha menarik wisatawan dari Singapura lalu menawarkan hal yang sama dengan di Singapura plus sesuatu yang nggak dimiliki oleh Singapura; wisata alam dan budaya!” katanya. “Nah, Malaysia sudah melakukannya dengan modal alam dan budaya yang tak lebih banyak dari yang dimiliki negaramu, dan hanya dengan sedikit tambahan wisata modern kelas dunia. Lalu negaramu? Bali? kupikir terlalu stagnan.. alam dan budaya Bali tetap harus jadi jualan utama, tapi segmen lain juga harus disasar…” katanya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun