Mohon tunggu...
Kadek BayuDarma
Kadek BayuDarma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Selamat Membaca

Kritik dan Saran membangun sangat kami harapkan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bersyukur Atas Nikmat yang Diberikan Oleh Leluhur di Hari Suci Kuningan

20 November 2021   15:30 Diperbarui: 20 November 2021   16:48 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rahajeng Kuningan Semeton Hindu Bali

Di pagi hari yang sejuk disertai mendung menambah suasana hari raya Kuningan menjadi lebih dingin. Bunga, canang, serta persembahan lainnya semerbak menghiasi pelinggih-pelinggih di sepanjang jalan dengan aroma dupa yang harum membawa ketenaangan batin.
Hari raya Kuningan merupakan hari raya bagi umat Hindu Bali dimana jatuh pada Saniscara wuku Kuningan  yang dilaksanakn setiap 210 hari dengan menggunakan kalender Bali. Dalam kalender Bali 1 bulan sama dengan 35 hari atau sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Hari raya Kuningan berasal dari kata "Kauningan" yang memiliki arti mencapai peningkatan spiritual melalui introspeksi diri pada hari raya ini umat Hindu melakukan pemujaan kepada Dewa dan Pitara untuk turun melaksanakan pensucian dan menikmati persembahan yang telah dipersembahkan. Penyelenggaaraan upacara saat hari raya Kuningan biasanya dilaksanakan semasih pagi dan tidak dibenarkan setelah matahari condong ke barat, hal ini dikarenakan pada hari raya Kuningan, dikatakan bahwa "Ida Sang Hyang Widhi Wasa memberkahi seluruh alam semesta beserta isinya pada saat jam 00:00 dini hari sampai jam 12:00 siang. Sebab energi alam semesta Panca Maha Bhuta yang meliputi : pertiwi, apah, bayu, teja, dan akasa bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya atau jegjeg ai (tengah hari). Setelah lewat bajeg surya disebut masa pralina atau pengembalian ke asalnya dan juga dapat dikatakan pada masa itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat Sang Hyang Surya atau matahari terbenam adalah saatnya beristirahat Tamasika Kala. Umat Hindu biasanya melaksanakan persembahyangan di Pura Khayangan Tiga dan Kawitannya masing-masing dan Merajam terutama bedoa dihadapan Sanggah Kemulan (Rong Tiga) sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi dan Leluhur hal ini sesuai dengan yang disebutkan dalam

Lontar Usana Dewa bahwa : ring Kamulan ngaran Ida Sang Hyang Atma, ring Kamulan tengen Bapa ngaran Sang Paratma, ring Kamulan kiwa Ibu ngaran Sang Siwatma, ring Kamulan tengah ngaran raganya. 

Pada hari Kuningan, umat Hindu Bali biasanya membuat nasi kuning sebagai simbol dari kemakmuran lalu dihaturkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi, Dewa-Dewi serta Leluhur sebagai tanda terima kasih atas kenikmatan yang telah Ia berikan. Semua itu dilimpahkan oleh Beliau kepada umat-Nya atas dasar cinta kasih-nya. 

Sarana upacara sebagai lambang kemeriahan dan persembahan yang terdiri dari berbagai macam jejahitan  dan mempunyai makna sebagai alat-alat perang yang seperti : tamiyang dan lain sebaginya. Saat hari raya Kuningan, umat Hindu biasanya menggunakan upakara sesaji yang berisi simbol tamiang dan endongan, dimana makna tamiang memiliki makna perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan manusia pada hukum alam, sedangkan Endongan memiliki arti sebagai perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah Jnana atau ilmu pengetahuan dan bhakti . Sarana lainnya, yakni sampian gantungan yang merupakan jejahitan sebagai simbol penolak bala. Ajengan yang berwarna kuning memiliki arti simbol kemakmuran. Hal ini diartikan sebagai bentuk terima kasih karena beliau telah melimpahkan rahmatnya untuk kemakmuran di dunia ini.

Sehari sebelum pelaksanaan Hari Raya Kuningan, umat Hindu melaksanakan Hari Penampahan Kuningan sebagai bentuk persiapan untuk menyambut Hari Raya Kuningan. Hari Penampahan Kuningan ini dilaksanan setiap Sukra Wage Wuku Kuningan.

Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam maka konsekuensinya adalah tergilas oleh roda alam. Karena itu, melalui perayaan ini umat diharapkan mampu menata kembali kehidupan yang harmonis dengan memperdalam ajaran Tri Hita Karana sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sementara senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.

Dari segi filosofi, hari raya Kuningan memiliki perbedaan dari hari suci Galungan, sebab hari raya Kuningan merupakan hari untuk merayakan waktu para dewa dan leluhur kembali ke surga setelah bertemu keturunannya.

Sedangkan pada hari Galungan itu para dewa-dewi dan leluhur turun, semua atman yang sudah suci akan turun dari surga menemui keturunannya di dunia.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi
Di hari Raya Kuningan kali ini mungkin saja tidak semeriah sebelumnya sebab semenjak virus Covid-19 masuk Indonesia segala kegiatan-kegiatan yang menimbulkan keramaian sangat dibatasi termasuk ibadah namun hal ini tak menyurutkan semangatnya, dalam melaksanakan swadharmanya sebagai umat Hindu di Bali dari awal sehari sebelum hari raya Kuningan warga Hindu Bali biasanya melaksanakan kegiatan Penampahan Kuningan adapun hewan-hewan yang biasanya di potong ataupun disembelih seperti : babi, ayam, dan lain lain, adapun olahan yang dibuat dari daging hewan yang telah di potong seperti : sate lilit, sate tusuk, kuah balung, lawar, tum. Setelah selesai melakukan persembahyangan di sore hari biasanya umat Hindu akan melakukan silahturahmi ke rumah warga ataupun sanak saudara dengan menikmati makanan buah-buahan, jajan serta teh ataupun hidangan lainnya secara tidak langsung memberikan afirmasi positif sebab hal ini dapat meningkatkan tali persaudaraan di beberapa daerah di Bali juga kerap melaksanakan Ngelawang, Tapakan Rangda, Barong, serta Sesuhunan lainnya akan melancaran atau napak pertiwi (mengitari desa-desa) guna menetralisir dan melindungi warga dari serangan wabah penyakit Niskala (gaib) seperti : Desti, Teluh, Trangjana dan beberapa santet lainnya yang dapat menyakiti warga. 

Begitu banyak hal yang telah diwariskan oleh leluhur kita dari zaman dahulu dan kini dalam kemajuan teknologi dan perkembangan elit global yang sangat pesat hendaknya tidak menyulutkan api swadarmaning umat Hindu Bali hal pertama yang harus kita lakukan ketika mengucapkan syukur ke hadapan Leluhur ialah menjaga wewidangan Bali serta melestarikan kebudaya yang telah turun temurun segala nikmat dan kehebatan yang telah Ia wariskan membuat Bali begitu terkenal sampai ke seluruh Dunia.

Mari kita jadikan hari kemenangan darma melawan adarma sebagai momentum saling asah, asih, asuh, menyama braya dan bukan momen mabuk-mabukan serta membuat kericuhan sebab kita sudah melewati proses kita sudah mengalahkan sifat-sifat kebinatangan jika Kala lebih unggul berarti memaknai hari galungan dan kuningan ini gagal, namun jika Majaya atau berhasil memaknai makna dari hari raya galungan dan Kuningan ini berarti dalam penerapan ajaran beragama murni sungguh-sungguh namun manusia tidak dapat lepas dari sifat awidya dalam hal ini perlu kita sadari agar momentum hari suci ini tidak hanya sekedar hari-hari biasa  Sarasamuccaya (Sloka 43) disebutkan keutamaan dharma bagi orang yang melaksanakannya yaitu:


“Kuneng sang hyang dharma, mahas midering sahana, ndatan umaku sira, tan hanenakunira, tan sapa juga si lawanikang naha-nahan, tatan pahi lawan anak ning stri lanji, ikang tankinawruhan bapanya, rupaning tan hana umaku yanak, tan hana inakunya bapa, ri wetnyan durlaba ikang wenang mulahakena dharma kalinganika.”


Artinya: "Adapun dharma itu, menyelusup dan mengelilingi seluruh yang ada, tidak ada yang mengakui, pun tidak ada yang diakuinya, serta tidak ada yang menegur atau terikat dengan sesuatu apapun, tidak ada bedanya dengan anak seorang perempuan tuna susila, yang tidak dikenal siapa bapaknya, rupa-rupanya tidak ada yang mengakui anak akan dia, pun tidak ada yang diakui bapa olehnya". Perumpamaan ini diambil karena, bagi manusia, sangat sulit untuk dapat mengetahui dan melaksanakan dharma itu. Di samping itu pula dharma sangatlah utama dan rahasia, hendaknya ia dicari dengan ketulusan hati secara terus-menerus. Darma dan adharma, merupakan kenyataan yang sangat berbeda yang selalu ada didunia, ada dalam diri kita umat manusia, tapi hendaknyalah itu diseimbangkan karena dalam kehidupan pasti ada yang baik ada yang jahat ada yang benar ada yang salah (Rwa Bhineda) . Kemenangan darma atas adharma yang telah dirayakan setiap Galungan dan Kuningan hendaknya diserap dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dharma tidaklah hanya diwacanakan tapi dilaksanakan meskipun menjalankan tak semudah mengucapkan namun setiap manusia di bekali akal dan pikiran yang membuatnya berpikir dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk, mempelajari hal yang sangat baik dan mulia memanglah sulit dibandingkan dengan mempelajari hal yang kotor dan negatif namun jika dilaksanakan secara perlahan-lahan namun pasti maka kita akan sampai pada tujuan yang ingin di gapai.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun