Gerakannya ditujukan untuk segera menerapkan norma-norma masyarakat yang baru sesuai syariat Islam. Norma-norma yang diterapkan antara lain melarang perjudian, penggunaan candu, sambung-ayam, cara berpakaian pria dan perempuan dan sembahyang lima waktu. Sanksi yang tegas akan dijatuhkan bagi siapapun yang melanggar.
Usahanya dalam memurnikan masyarakat Minangkabau tentunya mendapat pertentangan dari Kaum Adat dan Pemerintah Kolonial. Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai dikirim untuk menghadapinya.
Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan Belanda terhenti sementara dan diteruskan dengan dipimpin Tuanku Tambusai.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam menghadapi gerakan kaum Padri yang pertama ini, menumbuhkan semangat bagi kaum Adat. Para penghulu “yang Dipertuan Minangkabau” mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda yang bernama Du Puy guna memerangi kaum Padri. Hal tersebut menandakan kaum Adat berusaha menjaga status dan kedudukannya dalam hierarki masyarakat Minangkabau.
Pada akhir tahun 1822, pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Namun usaha Imam Bonjol untuk merebut kota pelabuhan tidak berhasil. Imam Bonjol pun membatasi kegiatan pantainya sampai di daerah Pasaman.
Sementara itu, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raff, Belanda semakin memperluas pengaruh perdagangan hingga Pasaman. Imam Bonjol ikut dalam Perjanjian Masang pada tanggal 24 Januari 1824. Beliau berjanji berusaha mendorong potensi emas di tanah Rao dan kebebasan dalam berdagang.
Kesepakatan perjanjian yang dilakukan Imam Bonjol dimaksudkan untuk memberikan jeda waktu baginya dalam menghadapi keahlian militer yang dimiliki oleh Raff. Belanda pun berjanji tidak mencampuri agama atau norma-norma yang diterapkan Imam Bonjol.
Dengan adanya perjanjian tersebut maka tercipta kondisi gencatan senjata di daerah Minangkabau hingga tahun 1831. Belanda pun bisa memfokuskan militernya untuk beralih menghadapi Perang Diponegoro yang memakan waktu hingga 5 tahun (1825 - 1830). Sementara itu, Imam Bonjol dapat menjaga kondisi dalam sosial dan ekonomi masyarakat di pesisir Pasaman.
Referensi: