A. Pengantar
Gerakan perlawanan kaum Padri menandakan adanya gejolak-gejolak yang timbul karena faktor ekonomi, sosial dan budaya dalam masyarakat Minangkabau. Perseteruan antara kaum Adat Minangkabau, kaum Ulama (Padri) dan Pemerintah Kolonial Hinda Belanda menjadikan gaya perlawanannya yang khas atau berbeda dari berbagai perlawanan-perlawanan yang tersebar di Nusantara pada masa kolonial.
Selain itu, dalam pandangan A.H. Johns (sejarawan yang mendalami masuknya agama Islam di Indonesia) bahwa gerakan Padri di Minangkabau merupakan puncak dari gerakan Islam modern di Indonesia. Bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap penjajahan Belanda, namun juga merupakan sebuah dinamika pergerakan kelompok Islam dalam mengembalikan dan membentuk tatanan masyarakat sesuai syariat-syariat Islam.
Dari sudut pandang kaum Padri, bahwasanya pergerakan yang mereka lakukan untuk memulihkan kehidupan masyarakatnya dan menghapus bentuk-bentuk penyimpangan moral dan budaya-budaya yang selama ini telah menjadi kebiasaan. Di samping itu, perlawanan ini menunjukkan adanya usaha untuk menggantikan kepemimpinan masyarakat adat yang harus diserahkan kepada kaum ulama.
Hal tersebut akan menjadi stimulus untuk kaum Padri memiliki kesempatan menguasai sumber-sumber daya yang berlimpah di Minangkabau. Faktor ekonomi juga menjadi sasaran dalam penguasaan kembali daerah-daerah perdagangan dan penghasil sumber daya alam yang selama ini telah dikuasai oleh penguasa-penguasa kolonial Inggris dan Hindia Belanda.
B. Analisa Peristiwa Sejarah dalam Spasial dan Aspek Ekonomi
Di daerah-daerah pesisir barat Sumatera yaitu daerah Minangkabau, ekspansi Belanda berbenturan keras dengan gerakan pembaharuan Islam pertama yang besar di Nusantara. Gerakan pembaharuan Islam tersebut dipelopori oleh sekelompok ulama beraliran Wahabbi yang telah menunaikan ibadah Haji dari Mekkah. Gerakan Wahabiah dengan semangat yang puritan memiliki tujuan membersihkan kehidupan umat agama Islam dari pengaruh-pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam. Pada perkembangan selanjutnya, tujuan dari Gerakan Wahabiah ini akan tertuju pada usaha memerangi kolonialisme Hindia Belanda.
Usaha pembaharuan ini sebenarnya telah dimulai sebelum kedatangan para Haji dari Mekkah pada tahun 1803. Gerakan “kembali kepada syariat-syariat Islam” telah didengungkan dari daerah Agam yang diinisiasi oleh Tuanku Nan Tua pada tahun 1784. Beliau merupakan Kepala Surau Syattariyah di Kota Tua, Agam. Di daerah ini mengalami lonjakan ekonomi dalam perdagangan akasia dan kopi pada abad ke-18 sehingga banyak pedagang-pedagang Minangkabau mampu pergi naik haji. Tuanku Nan Tua juga terlibat dalam perdagangan dan mendorongnya untuk menyebarkan pengaruh ajaran Islam terkait pelaksanaan perdagangan usaha-usaha dagang. Kebangkitan Islam yang pertama ini (1784-1803) difokuskan dalam kegiatan perdagangan.
Perdagangan menjadi mata pencaharian penting pada abad ke-18 dikarenakan potensi sumber daya alamnya dan keterbukaan dalam perdagangan bebas. Pertambangan emas, budidaya biji kopi dan pohon akasia menjadi komoditas penting dalam perdagangan ekspor dan antar daerah di Minangkabau. Penguasaan sumber-sumber daya yang berlimpah ini menarik perhatian bangsa asing dalam meraup keuntungan perdagangan internasional.
Namun, ketika Belanda mengadakan perjanjian pada tanggal 10 Februari 1821 antara orang-orang Belanda dan wakil-wakil dari 15 desa yang terletak di Lembah Solok dan perbukitan sekitarnya serta wakil dari wilayah keraton maka disepakati “kepada Pemerintah Hindia Belanda, penyerahan resmi dan tak bersyarat, tanah-tanah Pagar Roeyong, Soengi Tarap, dan Soeroeassoe. Begitu pula sisa-sisa tanah Negara Maninkabo.” Terjadinya perjanjian ini disebabkan merosotnya ekonomi internal Minangkabau yang berlangsung terus-menerus. Pada tahun 1821 dimulailah penaklukan di seluruh wilayah Minangkabau oleh Belanda.
Penurunan perdagangan komoditas emas yang merupakan produk ekspor masyarakat setempat pada abad ke-18 tentunya sangat merugikan raja-raja Minangkabau karena sebagian besar pendapatan mereka dari ekspor emas. Adapun, perdagangan kopi dan akasia juga menimbulkan persaingan antar desa-desa Minangkabau sehingga seringkali terjadinya perseturuan dan mengganggu keamanan dalam berdagang.
C. Analisa Peristiwa Sejarah dalam Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat
Akibat persoalan ekonomi dalam perdagangan di tanah Minangkabau, maka berdampak pula dalam persoalan sosial dan budaya masyarakatnya. Penanganan masalah dalam keamanan berdagang berjalan tidak efektif karena menurut adat Minangkabau, mereka harus menyelesaikan sendiri perselisihan tersebut dan diserahkan pada yuridiksi dewan penghulu desanya masing-masing.
Dengan semakin berkembangnya perdagangan dan bertambahnya jumlah pedagang di pasar, cara-cara dewan penghulu desa menyelesaikan sengketa kurang memadai. Adanya tindakan penyuapan bisa membuat dewan menunda keputusan sampai waktu yang sangat lama dalam bermusyawarah. Hukum yang dipakai untuk memutuskan perkara tidak tertulis dan ucapan adat bisa ditafsirkan bermacam-macam. Hal ini menyebabkan terjadinya diskusi yang berlarut-larut di balai sidang dewan penghulu adat.
Selain itu, situasi dalam pasar-pasarnya menunjukkan perilaku masyarakat yang tidak sehat. Pasar-pasar desa seringkali digunakan sebagai tempat gelanggang adu jago dan perjudian. Di tempat ini juga didapati sebuah tempat bercokolnya penjual tuak dan candu.
Dinamika permasalahan ini ditentang oleh Kaum Padri. Mereka menentang perjudian, sabung ayam, penggunaan candu, minuman keras, tembakau dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam.
D. Gerakan Padri Mula-Mula
Gerakan Padri ini dideklarasikan jihad oleh Tuanku Nan Renceh. Hal ini dimotivasi karena interaksi dalam masyarakat yang telah menyimpang dari hukum-hukum Islam. Tuanku nan Renceh bekerjasama dengan Haji Miskin untuk meneruskan perjuangan gurunya, Tuanku nan Tua yakni “kembali ke syariat”. Pola-pola pergerakannya lebih bersifat militan.
Gerakannya ditujukan untuk segera menerapkan norma-norma masyarakat yang baru sesuai syariat Islam. Norma-norma yang diterapkan antara lain melarang perjudian, penggunaan candu, sambung-ayam, cara berpakaian pria dan perempuan dan sembahyang lima waktu. Sanksi yang tegas akan dijatuhkan bagi siapapun yang melanggar.
Usahanya dalam memurnikan masyarakat Minangkabau tentunya mendapat pertentangan dari Kaum Adat dan Pemerintah Kolonial. Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah tersebut. Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Tambusai dikirim untuk menghadapinya.
Pertempuran sengit terjadi dan pada tahun 1821 Tuanku Rao gugur di Air Bangis. Perlawanan pasukan Padri melawan pasukan Belanda terhenti sementara dan diteruskan dengan dipimpin Tuanku Tambusai.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam menghadapi gerakan kaum Padri yang pertama ini, menumbuhkan semangat bagi kaum Adat. Para penghulu “yang Dipertuan Minangkabau” mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda yang bernama Du Puy guna memerangi kaum Padri. Hal tersebut menandakan kaum Adat berusaha menjaga status dan kedudukannya dalam hierarki masyarakat Minangkabau.
Pada akhir tahun 1822, pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah yang pernah didudukinya. Namun usaha Imam Bonjol untuk merebut kota pelabuhan tidak berhasil. Imam Bonjol pun membatasi kegiatan pantainya sampai di daerah Pasaman.
Sementara itu, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raff, Belanda semakin memperluas pengaruh perdagangan hingga Pasaman. Imam Bonjol ikut dalam Perjanjian Masang pada tanggal 24 Januari 1824. Beliau berjanji berusaha mendorong potensi emas di tanah Rao dan kebebasan dalam berdagang.
Kesepakatan perjanjian yang dilakukan Imam Bonjol dimaksudkan untuk memberikan jeda waktu baginya dalam menghadapi keahlian militer yang dimiliki oleh Raff. Belanda pun berjanji tidak mencampuri agama atau norma-norma yang diterapkan Imam Bonjol.
Dengan adanya perjanjian tersebut maka tercipta kondisi gencatan senjata di daerah Minangkabau hingga tahun 1831. Belanda pun bisa memfokuskan militernya untuk beralih menghadapi Perang Diponegoro yang memakan waktu hingga 5 tahun (1825 - 1830). Sementara itu, Imam Bonjol dapat menjaga kondisi dalam sosial dan ekonomi masyarakat di pesisir Pasaman.
Referensi:
[1] Dobbin, Christine, 2008. Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, Dan Gerakan Padri, Cetakan 1, Depok: Komunitas Bambu
[2] Kartodirjo, Sartono, 2020. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, Cetakan 4, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
[3] Reid, Anthony, 2011. Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia Dan Dunia, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
[4] Subroto, K, ‘Tuanku Imam Bonjol & Gerakan Padri: Pahlawan Nasional, Jihadis, Dan Transnasional’, Syamina, XVIII (2015)
Silahkan mampir untuk membaca artikel lainnya dengan mengklik profil penulis.
Terimakasih.
Christian Novendy Agave
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H