Perdagangan menjadi mata pencaharian penting pada abad ke-18 dikarenakan potensi sumber daya alamnya dan keterbukaan dalam perdagangan bebas. Pertambangan emas, budidaya biji kopi dan pohon akasia menjadi komoditas penting dalam perdagangan ekspor dan antar daerah di Minangkabau. Penguasaan sumber-sumber daya yang berlimpah ini menarik perhatian bangsa asing dalam meraup keuntungan perdagangan internasional.
Namun, ketika Belanda mengadakan perjanjian pada tanggal 10 Februari 1821 antara orang-orang Belanda dan wakil-wakil dari 15 desa yang terletak di Lembah Solok dan perbukitan sekitarnya serta wakil dari wilayah keraton maka disepakati “kepada Pemerintah Hindia Belanda, penyerahan resmi dan tak bersyarat, tanah-tanah Pagar Roeyong, Soengi Tarap, dan Soeroeassoe. Begitu pula sisa-sisa tanah Negara Maninkabo.” Terjadinya perjanjian ini disebabkan merosotnya ekonomi internal Minangkabau yang berlangsung terus-menerus. Pada tahun 1821 dimulailah penaklukan di seluruh wilayah Minangkabau oleh Belanda.
Penurunan perdagangan komoditas emas yang merupakan produk ekspor masyarakat setempat pada abad ke-18 tentunya sangat merugikan raja-raja Minangkabau karena sebagian besar pendapatan mereka dari ekspor emas. Adapun, perdagangan kopi dan akasia juga menimbulkan persaingan antar desa-desa Minangkabau sehingga seringkali terjadinya perseturuan dan mengganggu keamanan dalam berdagang.
C. Analisa Peristiwa Sejarah dalam Aspek Sosial dan Budaya Masyarakat
Akibat persoalan ekonomi dalam perdagangan di tanah Minangkabau, maka berdampak pula dalam persoalan sosial dan budaya masyarakatnya. Penanganan masalah dalam keamanan berdagang berjalan tidak efektif karena menurut adat Minangkabau, mereka harus menyelesaikan sendiri perselisihan tersebut dan diserahkan pada yuridiksi dewan penghulu desanya masing-masing.
Dengan semakin berkembangnya perdagangan dan bertambahnya jumlah pedagang di pasar, cara-cara dewan penghulu desa menyelesaikan sengketa kurang memadai. Adanya tindakan penyuapan bisa membuat dewan menunda keputusan sampai waktu yang sangat lama dalam bermusyawarah. Hukum yang dipakai untuk memutuskan perkara tidak tertulis dan ucapan adat bisa ditafsirkan bermacam-macam. Hal ini menyebabkan terjadinya diskusi yang berlarut-larut di balai sidang dewan penghulu adat.
Selain itu, situasi dalam pasar-pasarnya menunjukkan perilaku masyarakat yang tidak sehat. Pasar-pasar desa seringkali digunakan sebagai tempat gelanggang adu jago dan perjudian. Di tempat ini juga didapati sebuah tempat bercokolnya penjual tuak dan candu.
Dinamika permasalahan ini ditentang oleh Kaum Padri. Mereka menentang perjudian, sabung ayam, penggunaan candu, minuman keras, tembakau dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam.
D. Gerakan Padri Mula-Mula
Gerakan Padri ini dideklarasikan jihad oleh Tuanku Nan Renceh. Hal ini dimotivasi karena interaksi dalam masyarakat yang telah menyimpang dari hukum-hukum Islam. Tuanku nan Renceh bekerjasama dengan Haji Miskin untuk meneruskan perjuangan gurunya, Tuanku nan Tua yakni “kembali ke syariat”. Pola-pola pergerakannya lebih bersifat militan.