Mohon tunggu...
RoziWrite
RoziWrite Mohon Tunggu... Lainnya - penulis novel cuy

menulis bukanlah hal yang tidak berguna

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Asal-Usul Tahlilan sebagai Akulturasi Agama dan Budaya Nusantara

18 Juni 2022   18:37 Diperbarui: 18 Juni 2022   18:43 1827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan pengertian tahlilan menurut istilah adalah: "bersama-sama mengucapkan kalimah thayyibah dan berdoa bagi orang yang sudah meninggal dunia". Dari gagasan  tersebut dapat disimpulkan bahwa tahlil adalah bersama-sama melakukan doa bagi orang yang sudah meninggal dunia. Tahlilan biasanya dilakukan di rumah-rumah, musholla, masjid atau majelis-majelis dengan harapan semoga diterima amalnya dan diampuni dosanya oleh Allah S.W.T. Istilah tahlilan kemudian lebih dipahami di lingkungan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari ritual selamatan yang dilakukan oleh sebagian umat Islam, yang mayoritas berada di Indonesia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal dunia.

Tahlilan biasa dilakukan pada hari pertama meninggalnya jenazah hingga memasuki hari ketujuh, lalu dilakukan pada hari keempat puluh, keseratus, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, bahkan hingga hari keseribu.Selama menjalani ritual tahlil, puji-pujian terhadap Tuhan(allah SWT) memang menjadi fokus utama. Biasanya dilakukan lewat bacaan ayat-ayat dan doa-doa tertentu. Surat Yasin menjadi bacaan utama, diiringi dengan Ayat Kursi dan lantunan tasbih (pensucian), tahmid (puji-pujian) dan istighfar (mohon ampunan).  Tahlil juga biasanya dilakukan untuk selamatan rumah baru, panen raya dan hal hal lain yang berhubungan dengan selamatan.

Ritual selametan tahlilan memiliki beberapa versi asal usul, berbagai polemik dan prokontra terjadi  di berbagai kalangan pada kasus asal usul tahlilan. Versi pertama menyebutkan Sebelum agama budha, hindu dan islam masuk ke nusantara atau indonesia sebenarnya ritual selametan sudah ada sejak zaman dulu. Dimana dulu dilakukan orang orang atau masyarakat yang menganut faham animisme, dinamisme.

Menurut faham ini, roh yang sudah mati itu sangat menentukan kebahagiaan dan kecelakaan orang orang yang masih hidup. Selain itu menurut faham ini, orang orang yang meninggal itu tidak senang untuk meninggalkan alam dunia ini sendirian dan ingin mengajak keluarganya yang lain. Sehingga keluarga yang ditinggal mati ini, menggantinya dengan menyembelih sapi, kerbau, kambing dan ayam milik mayit. Agar binatang yang disembelih tersebut, menemani arwah si mayit. Agar tidak mengajak keluarga mayit. Dan keluarga menyediakan sesaji di tempat tempat tertentu, supaya ruh si mayit tidak marah kepada anggota keluarganya.

Versi kedua,  Menengok Kebudayaan di indonesia pada zaman dulu(nusantara) tentunya kental dengan tradisi hindu dan budha. Melihat pada zaman kerajaan dulu masyarakat nusantara dipimpin oleh raja raja yang beragama hindu atau budha.

Tradisi selametan muncul pada saat masa hindu dan budha dimana pada kitab brahmana yang mengatur tata cara pelaksanaan korban, sajian untuk dewa dan upacara untuk menghormati nenek moyang. Ada sebuah aturan yang dinamakan Yajna Besar dan Yajna Kecil. Yajna Besar dibagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna. Somayjna adalah upacara khusus untuk orang-orang tertentu. Adapun Hafiryayajna untuk semua orang.

Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain. Dari empat macam tersebut ada satu yang sangat berat dibuang sampai sekarang bagi orang yang sudah masuk Islam adalah upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati atau mendoakan roh-roh orang yang sudah mati.

Dalam upacara pinda pitre yajna, ada suatu keyakinan bahwa orang setelah mati, sebelum memasuki karman, yaitu menjelma kembali ke dunia sebagai dewa, manusia, tumbuhan, binatang, batu dan lain lain sesuai amal perbuatannya ketika hidup dulu. Dari hari ke 1 sampai 7 roh orang mati tersebut diyakini masih berkeliling di sekitar rumah.

Pada hari ke empat puluh, seratus dan seribu dari kematiannya, roh tersebut datang lagi ke rumah keluarganya. Sehingga, pada hari-hari tersebut harus diadakan upacara saji-sajian dan bacaan mantera-mantera serta nyanyian suci untuk memohon kepada dewa-dewa agar rohnya si mayit tersebut menjalani karma menjadi manusia yang baik, jangan menjadi yang lainnya.

Pelaksanaan upacara tersebut diawali dengan aghnideya, yaitu menyalakan api suci (membakar kemenyan) untuk kontak dengan para dewa dan roh si mayit yang dituju. Lalu  diteruskan dengan menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain untuk dipersembahkan kepada para dewa, kemudian dilanjutkan dengan bacaan mantra-mantra dan nyanyian-nyanyian suci oleh para pendeta agar permohonannya dikabulkan.

Pada zaman itu, para wali kemudian berkumpul untuk memusyawarahkan persoalan tradisi selametan yang terdapat pada kitab brahmana seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil dari musyawarah itu tradisi pada budaya hindu Pinda Pitre Yajna dilestarikan oleh orang-orang Islam aliran Tuban yang kemudian dikenal dengan nama Nelung Dino, Mitung Dina, Matang Puluh, Nyatus, dan Nyewu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun