Mohon tunggu...
Kacong Tarbuka
Kacong Tarbuka Mohon Tunggu... Media -

Hidup di tengah masyarakat agamis-kontekstualis membuat saya harus banyak belajar pada realitas. Terlalu banyak orang yang gampang mengkafirkan sesama, dan jarang orang yang bisa mengakui kesalahan, khususnya dalam perjalanan beragama. Mencari ketenangan dengan menulis, berkarya, serta mengangkat ketimpangan sosial menjadi bermartabat. Salam

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

FK Marak: Dokter Muda “Semakin” Tak Berkualitas?

26 Juni 2016   08:14 Diperbarui: 26 Juni 2016   09:09 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

MARAKNYA perguruan tinggi (PT) di Surabaya, mengharuskan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk segera ambil bagian, agar para output FK tersebut ketika lulus tidak merasa kebingungan. Di tahun 2016 ini, tiga perguruan tinggi swasta (PTS) di Surabaya membuka fakultas kedokteran (FK). Ketiganya adalah Universitas Surabaya (Ubaya), Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS), dan Universitas Ciputra (UC). Tiga kampus tersebut mendapat surat keputusan (SK) operasional dari Kementrian Riset dan Teknologi Tinggi (Kemenristekdikti) pada, Selasa 29/3/2016 lalu. 

Maraknya FK tersebut, tentunya harus dibarengi dengan kualitas yang baik. Kampus sebagai instutsi penyelenggara harus mengambil terobosan baru agar bisa meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Selain itu, menjamurnya FK menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia semakin sadar akan kesehatan. “Banyaknya FK dan rumah sakit di Indonesia tidak menjadi tolak ukur kepercayaan masyarkat kepada dokter. Logikanya, hampir setiap tahunnya orang Indonesia melakukan wisata kesehatan ke Malaysia saja itu hampir 12 triliun. Itu Malaysia saja belum Singapura, dan negara lainnya,” ujar, Winarto Poernomo, SE, Head Of Publik Relations, Universitas Ciputera Surabaya, beberapa waktu lalu.

Sebenarnya, lanjut Winarto, peralatan medis di Indonesia tidak jauh berbeda dengan di luar negeri. Pemerintah bisa menginvestasi alat-alat kesehatan, jika memang dibutuhkan oleh rumah sakit, namun masalahnya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepada rumah sakit lokal sudah mulai menurun. “Banyak yang pasiean yang menilai dokter di Indonesia kurang detail dalam memberikan penjelasan kepada pasien. Misalnya hasil tes CT-Scan, tidak dijelaskan secara rinci kepada pasien,” kata dia.

Harga obat di Indonesia, kata dia, dibanding dengan harga obat di Malaysia lebih murah 30 persen dengan peralatan medis yang hampir sama. “lalu apa yang mendorong masyarakat kita untuk melakukan wisata kesehatan di luar negeri?. Pendidikan kedokteran kita, harus segera dibenahi,” katanya.

Disingung soal maraknya FK di Surabaya, ia mengungkapkan, hingga saat ini masih banyak fakultas kedokteran yang sudah lama berdiri, tapi belum sempat dibina dan ditingkatkan kualitasnya. Bahkan, ada yang nyaris terabaikan. “Misalnya mengenai praktik kerja ketika pendidikannya sudah selesai,” katanya.

Perlu Reformasi

Semantara itu, Dr. dr Hudi Winarso, MKes, SpAnd, Dekan Fakultas Kedokter UC Surabaya mengungkapkan, pendidikan kedokteran saat ini perlu direformasi kembali. Misalnya menerapkan inovator sosial kepada calon dokter di Indonesia. Banyaknya FK dan rumah sakit harusnya berbanding lurus dengan tingkat kualitas dokter, tapi pada kenyataanya berbanding terbalik. “FK di Surabaya memang banyak, tapi belum menerapkan inovator sosial,” ujar dr Hudi yang juga dokter Spesialis Andrologi Kesehatan Reproduksi tersbut.

Dia mencontohkan, era modern saat ini, khususnya diberlakukannya pasar ekonomi global muncul berbagai penyakit. Menempuh pendidikan kedokteran harus ramah lingkungan. Artinya, harus bisa merubah keadaan sekitar alias respek kepada lingkungan. “Sekarang banyak sekali bahan makanan yang besentuhan langsung dengan plastik, padahal plastik tersebut kan berbahaya pada organ tubuh. Sebut saja, kualitas sperma. Kalau bukan kita yang merubah lalu siapa lagi?,” jelas dia.

Dia mengakui, dokter era saat ini dibanding dengan zaman dahulu sangat jauh berbeda. “Saya kira banyak perbedaan ya dokter dulu denga yang sekaran,” katanya.

Lalu bagaimana dengan lulusan UC sendiri, ia melanjutkan, kampus sebagai institusi penyelenggara memang mempunyai tanggung jawab bersar agar mahasiswanya tidak bergelantungan. Mengingat masuk di FK membutuhkan biaya yang cukup besar. Di Ciputera sendiri, untuk tempat praktiknya sudah bekerja sama dengan Rs Utama Soewandie Surabaya sebagai rumah sakit kelas B untuk menggunakan sebagai Rumah Sakit Pendidikan Utama dan bersama mempersiapkan RSUD dr. M. Soewandhie sebagai RS Pendidikan dan beberapa rumah sakit lainnya yang sudah melakukan MoU dengan UC, seperti rumah sakit iwa Menur kelas A, RS Rekso Waluyo Mojokerto kelas C, RS Kristen Mojowarno kelas C . “Setiap FK pasti mempunyai rumah sakit utama yang dikhususkan ketika nanti mahasiswa melakukan praktik,” jelasnya.

Tidak semua rumah sakit, lanjut dia, bisa dijadikan rumah sakit pendidikan. Sebab, rumah sakit yang diproyeksikan sebagai rumah sakit pendidikan ada syarat-syarat tertentu. “Misalnya di rs Nasional Hospital itu gak bisa dijadikan rumah sakit pendidikan, karena tidak memenuhi standard. Kalau cuma dijadikan tempat belajar sesaat ya bisa. Tapi kalau sampai 2 tahun, itu tidak bisa,” katanya.

Tanggung jawab tersebut, kata dia, bukan hanya pada perguruan tinggi, melainkan harus ada keterlibatan pemerintah. “Ya bukan pihak penyelenggara saja, harus ada tanggung jawab pemerintah. Dan yang paling penting adalah mahasiswa itu sendiri. Kuota mahasiswa angkatan pertama ini, kata dia, hanya mengambil 50 mahasiswa,” jelasnya.

Kekurangan dokter

Sementara itu, Sementara itu, Dr dr Sukadiono, Rektor Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Surabaya, mengungkapkan, dibukanya FK di Unmuh merupakan salah satu langkah untuk tersedianya tenaga medis di Jawa Timur. Sebab, pada tahun 2014 Jatim sendiri sangat kekurangan dokter. “DI Jatim kekurangan dokter 7.415 dokter,” ujar Sukadiono beberapa waktu lalu.

Saat ini, kata dia, di Jatim sendiri baru ada sepuluh perguran tinggi yang memiliki fakultas kedokteran. Potensi tersebut, lanjut dia, sangat prospek dan bagus dan Unmuh sendiri akan menjadi salah satu FK dengan napas Islam. “Dengan penambahan FK, Unmu kini memilihi 5 prodi dibidang kesehatan dari 27 program studi yang tersedia,” kata dia.

Disinggung soal kesiapan membuka FK, ia mengungkapkan, sudah dipersiapkan sejak tahun 2009 alat-alat medis, gedung, hingga tempat praktik. “Untuk praktiknya kami sudah MoU dengan RSI Khotijah Sidoarjo,” kelasnya.

FK tersebut, kata dia, mempunyai daya tampung 40 mahasiswa. “Sedangkan jumlah dosen yang tersedia 32 dosen dengan keahlian yang berbeda-beda,” kata dia.

Patologis sosial

Sementara itu, Krisnayana Yahya, Pakar Statistik Institus Teknologi Nopember (ITS) Surabaya mengungkapkan, menjamurnya FK di Surabaya memang karena kebutuhan. Tingkat rasio dokter dan masyarakat itu masih tidak rasional dibanding dengan negara lain, seperti di Malaysia, Singapura, dan negara lainnya. Tingkat rasio di Indonesia adalah 1:2000, di Malaysia 1: 800, sementara di Singapura 1: 500, keadaan tersebut jika tidak segera dibenahi akan memperlambat pembangunan bangsa, utamanya dalam aspek kesehatan. “Maraknya FK di Surabaya menjadi bukti bahwa masyarakat masih sadar akan kekurangan tenaga medis,” jelas Krisnayana, saat dihubungi melalui telpon genggamnya.

Setelah terselenggaranya badan penyelenggara jaminan kesehatan (BPJS) dokter merupakan tenaga professional yang terikat pada lembaga rumah sakit atau asuransi. Pada zaman dahulu, dokter dibiayai oleh negara, namun pada saat ini orang yang masuk di FK merupakan kalangan elitis dan berduit. “Pendidikan dokter harus dibiyai agar tidak jadi pedagang, penentu tariff, dan menjadi kapitalis kesehatan,” tambahnya.

Dokter, lanjut dia, harus menjadi pelopor tenaga professional yang berfungsi sebagai social service kepada masyarakat. Jika tidak, maka hanya akan menjadi racun dan pedagang yang akhirnya berdampak pada kesehatan masyarakat. Bagaimana tidak? masuk di FK membutuhkan dana yang cukup banyak, bahkan hampir 1 miliar. Nanti ketika sudah lulus, jika ia tidak membunyai social service yang baik, maka hanya menjadi tabir kepercayaan masyarakat kepada dokter di Indonesia. “Hancurnya layanan kesehatan kalau berbagai universitas menarik uang ratusan juta rupiah untuk masuk di FK tersebut. Al-hasil yang masuk di dunia kedokteran bukan murni mahasiswa yang memang mempunyai service sosial yang baik, tetapi kalangan elitis,” kata dia.

Masuk dunia FK, sudah lumrah dikalangan masyarakat merupakan orang-orang terpandang atau pebambah gengsi keluarga. Pola pemahaman di masyarakat merupakan penyakit sosial yang harus segera dibenahi, sebab ia berfikir setelah menempuh pendidikan kedokteran maka ia akan menjadi dokter. “Walau dengan cara apapun,” lanjutnya. “Makanya tidak heran, jika pengangkatan dokter bersifat genetic. Jika tidak mempunyai riwayat tenaga kedokteran maka mustahil akan diangkat menjadi dokter,” tambah Kresnayana.

Untuk itu, perlu kiranya reformasi pendidikan kedokteran. Artinya apa? perlu sleksi ketat dan memang terpanggil untuk menjadi tenaga medis. Sebab, di dunia kedokteran minat kesungguhan lebih penting dibanding dengan minat finansial. Namun maslaahnya? Siklus era ini berubah, dimana kaum elitis yang berada digarda depan dibanding dengan orang yang secara sosial memang terpanggil untuk menjadi tenaga medis. Tidak lain bertujuan untuk membangun bangsa, utamanya dalam sektor kesehatan. “Orang yang secara sosial dirinya terpanggil menjadi dokter, ia tidak akan menjadi pedagang obat, agen asuransi, atau pekerjaan lainnya yang menyengsarakan masrarakat. Batasi orang elite yang tidak mempunyai jiwa sosial baik kepada masyarakat menjadi dokter, bukan saatnya mencari kekayaan melewati kedokteran,” lanjutnya.

Disinggung soal potensi bisnis, ia melanjutkan, setiap universitas yang mempunyai FK beranggapan bahwa FK lahan tambang emas. Sebab, incaran mahasiswa dari kalangan elitis yang harusnya dibiyai oleh BPJS atau pemerintah karena erat kaitannya dengan kesehatan manusia, tapi membayar sendiri. Namun saat ini, FK tersebut terjadi dis-orientasi dari awal tersebentuknya, bahkan timbul kelas elite baru yang akan menjadi parasite masyarakat. Kedokteran hanya digunakan sebagai simbol perguran tinggi beken. “Padahal kalau isinya orang yang hanya ingin memperkaya diri alias bukan panggilan sosial, lulusannya hanya akan menjadi sampah masyarakat,” jelasnya.

Hal senada juga diungkapkan, Prof. Dr. Ali Maksum, Sekretaris Pelaksana, Kopertis Wilayah VII Jawa Timur, maraknya FK di Surabaya tentunya akan berdampak pada kualitas pembangunan bangsa, jika dibarengi dengan mutu yang baik. Jika mutunya tidak baik, maka hanya akan menjadi beban bangsa. “Pada tahun 2016 ini, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi mengeluarkan surat keputusan (SK) oprasional FK sebanyak 8 universitas di Indonesia, 3 SK di Jatim, seperti UHT, UC, dan UMS,” jelas Ali.

Prodi kedokteran harus dispesialkan dibanding dengan prodi lain. Misalnya jika di prodi lain tingkat rasio dosen-mahasiswa adalah 1:25/30, maka di FK sendiri harus 1:10 tidak boleh lebih yang bertujuan agar intensitas hubungan dosen dan mahasiwa lebih baik, harus mempunyai laboratorium sendiri, dan harus mempunyai rumah sakit sendiri. “Pendidikan kedokteran jika hanya berdasarkan teori maka akan kacau,” katanya.

Lalu bagaimana dengan perguruan tinggi yang berkerjasama dengan rumah sakit luar? Ia mengatakan, untuk 3 universitas yang baru saja mendapatkan SK tidak masalah, karena masih baru. Namun pada akhirnya semua universitas yang mendirikan prodi kedokteran harus mempunyai rumah sakit sendiri. “Mengenai lamanya bekerja sama dengan rumah sakit lain saya belum mengetahui pasti. Tapi yang jelas, setiap prodi kedokteran harus mempunyai rumah sakit dengan tujuan agar ketika prakti lebih mudah,” jelasnya.

Pemberlakukan SK tiga FK baru di Surabaya, kata dia, mendapatkan respon negatif dari kalangan, seperti konsil dokter Indonesia yang menolak pemberlakuan SK oprasional tersebut dengan alasan mutu. Banyaknya FK tidak menjamin tenaga dokter di Indonesia menjadi lebih baik, bahkan tambah ambruk. Mahalnya biaya masuk kedokteran terkadang menjadi pemicu lemahnya mutu dokter muda. Bagaimana tidak? hai cost yang bagitu mahal, ia jadikan sebagai modal dan kelak ia lulus akan mengembalikan modal tersebut. “Yang ada kualitasnya diperbaiki dulu,” jelasnya.

IDII Surabaya; FK Marak, Pola Distribusi Tak Jelas

Ikatan Dokter Indonesia Cabang Surabaya mengungkapkan, maraknya fakultas kedokteran (FK) di Surabaya tanpa memperhatikan kualitas, hanya memperhatikan sisi potensial bisnis atau industri kesehatan sementara pendistribusiannya tidak jelas. “Yang saya tahu sudah ada monatorium FK, tapi kenapa kok dibukan kembali. Membuka FK itu hak preogratif universitas, tetapi harus dibarengi dengan sisi kualitas jangan asal-asalan agar tidak hanya meresahkan masyarakat,” jelas dr Pudjo Hartono SpOG,Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya.

Ia menjelaskan, pendirian FK harus berdasarkan nilai luhuritas kedokteran. Artinya, menjadi dokter tidak bukan karena ingin memperkaya diri atau membuat dirinya terkenal, tetapi harus mempunyai etika moralitas yang baik. “Kalau FK banyak dan tidak jelas distribusinya kan hanya menyebabkan sarjana kedokteran yang menumpuk dan akhirnya menganggur, sementara FK setiap tahunnya me-wisudah ribuan mahasiswa,” ujar Pujo, yang juga sebagai Ketua Pogi Rs Dr Soetomo Surabaya.

Selain itu, kata dia, FK yang tidak mempunyai akreditasi baik hanya akan memeperburuk keadaan, seperti banyak komplein dari masyarkaat, terjadinya malpraktik, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut bisa disebabkan, karena kadar intelektual dokter saat ini kurang berkualitas. “Hal-hal begitu (komplein) IDII yang merasakan,” ujarnya.

Menurut dia, pengawasan kepada setiap FK harus diperketat dengan tujuan memperhatikan kualitas pendidikan kedokteran, jika ada yang melanggar langsung ditindak. “Dokter sekarang memang berbeda dengan dulu,” kata dia.

Pendidikan kedokteran harus berkualitas kerena berkaitan dengan pembangunan bangsa utamanya dalam kesehatan. Pemerintah jangan hanya memberikan izin atas didirikannya FK, tetapi ikut memberi sumbansih pemikiran mengenai pendistribusiannya. “Sampai sata ini, pemerintah tidak menjelaskan secara rinci, kenapa FK dibuka kembali, kalau alasannya hanya masalah rasio pernah tidak pemerintah ikut memperhatikan distribusi dokter umum atau dokter spesialis pasca dicabutnya intruksi presiden (inpres)? Pemerintah terlalu terburu-buru,” jelas dia.

Dulu, dia melanjutkan, untuk menjadi dokter tidak harus dengan uji kompetensi. Sekarang, setiap lulusan FK yang ingin menjadi dokter, harus melamar dan kemudian melakukan uji kompetensi. Celakanya, ketika ada salah satu mahasiswa yang tidak lulus ujian kompetensi, tidak putus-asa untuk mendaftar bahkan dengan cara yang tidak elok. “Kenapa ada ujian ? itu dampak dari maraknya FK sementara pemerintah tidak intervensi dalam pemerataan distribusinya,” kata dia.

Pemerintah harus mempunyai terobosan baru untuk menyelesaikan problem menumpuknya sarjana kedokteran di kota kota besar. Misalnya, menentukan kembali tingkat pelayanan dokter kepada masyarakat. “Misalnya tentukan satu dokter dengan tingkat rasio 1:2500 perbulannya. Dengan begitu, bisa mencegah masuknya dokter-dokter baru di kota-kota besar mengingat jumlah dokter dan masyarakat sudah mencukupi. Masalahnya, sampai saat ini belum ditetapkan seperti itu dan berdampak pada membludaknya dokter di kota-kota besar, sementara di kota kecil tidak terpenuhi,” jelasnya.

Industri Kesehatan

Tidak dapat dipungkiri, masuk di dunia FK memang mebutuhkan biaya yang sangat mahal. Dengan tingkat kemahalan tersebut ada sebagian universitas yang mengambil keuntungan dari FK tersebut, seperti untuk membantu prodi-prodi yang lainnya dan juga ada sebagian mahasiswa yang ingin mengembalikan biaya kuliahnya tersebut. “Saat ini, perguruan tinggi berlomba-lomba untuk mendirikan FK tentunya ia melihat potesi industri dan minat mahasiswanya,” katanya.

Permasalahan tersebut, kata dia, menjadi salah satu indikator tidak komptennya dokter di Indonesia. kampus mejadikan FK sebagai industri kesehatan, sementara mahasiswa kedokteran harus mengembalikan biaya yang telah di keluarkan selama pendidikan. “Ini kacau,” tegas dia.

Belajar dari pengalaman kerapnya mahasiswa gagal lulus uji kompetensi, Konsil Kedokteran Indonesia bersama stakeholder-nya menyepakati dua cara. Pertama, perbaikan mutu di institusi pendidikan kedokteran, sehingga dapat menghasilkan dokter yang kompeten dan profesional. Kedua, moratorium terhadap pembukaan FK.

Ia berharap, agar pemerintah turut memikirkan pola distribusi sarjana kedokteran, jangan hanya membuka FK baru dengan alasan tingkat rasio dokter dan masyarakat masih kurang. Pendidikan kedokteran merupakan profesi luhur dan bermatabat yang harus jauh dari praktik amoral seperti yang terjadi belakangan ini. “Reformasi pendidikan kedokteran itu sangat penting dalam rangka melayani kesehatan masyarakat,” pungkas dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun