Aspek sosial
Setiap mualamah yang sifatnya mencekik kepada manusia lain, meski halal secara hukum, namun tetap kurang elok secara sosial. Apapun dalilinya, ketika sudah membuat masyarakat desa tercekik merupakan "kebiadaban" yang struktural. Apalagi dilakukan oleh stake holder di kalangan masyarakat, orang kaya, guru, atau bahkan imam masjid.
Dalam tatanan masyarakat masih menjamur rentenir kontemporer yang masih mengambil untung ditengah keterpurukan saudaranya sendiri, menjadi kapitalis, serta menjadi penentu harga. Ironi. Lalu kenapa kontemporer ? istilah kontemporer biasanya digunakan pada setiap hukum yang mulanya tak elok, dan kemudian dimodivikasi menjadi muamalah yang sesuai degan realitas sesuai metode yang dipakai.
Yang lebih kacau, apabila praktik seperti ini dilakukan oleh orang terpandang yang notabene-nya hafal dasar hadis dan qurannya. Jika para imam-nya sudah melakukan perbuatan yang tak elok, lalu bagaimana dengan masayrakat sekitar ? masih pantaskah menyuarakan halal-haram ??
Menurutnya, tak ada masalah jika ditinjau dari segi hukum fiqh. Nalar dan qiyas yang gigih membuat praktik tersebut seoalah tidak menyalahi aturan, meski sedikit memberatkan kepada masyarakat. Karena pada dasarnya, orang yang meminjam emas tersebut, merupakan orang yang benar-benar butuh. Nah, inilah yang menjadi perbincangan publik, lalu dimana letak “kehalalan” praktik? bukankah semua nilai hukum bermuatan mashlahah? bukan mafsadat?!!
Tujuan mempelajari teori sosial tidak lain untuk melihat gejala yang terjadi di masyakat dan menyelesaikannya. Jalan menuju kebaikan, tidak melulu kepad Tuhan, tapi bagaimana ia bisa membangun masyarakat yang sempurna, biar tidak menjadi patologis dikalangan masyaraka, sempurna dari segi hukum. Hukum sosial maupun hukum syariat.
Manusia tidak selalu dibenturkan dengan kaidah fiqh, tetapi bagaimana ia bisa melihat kondisi sosial atau displin ilmu tasawuf. Tidak sempurna jika hanya berjibaku dalam kaidah fiqh, sementara aspek sosial sama sekali tidak disentuh. Hukum dibuat atas tendensi kepentingan masyarakat, bukan sebagai transportasi pribadi atau kelompok atau dalam artian lain, menghalalkan suatu yang kuang baik (haram) dengan cara apapun, demi mencapai tingkat puncak kehalalan.
Tak muluk-muluk untuk menjadi manusia yang ingin menyandang predikat tertinggi di mata Tuhan, cukup dengan membuat keluarga, lingkungan, serta orang yang membutuhkan bisa tersenyum lebar tampa batas.
–-Hasil diskusi dengan salah satu sahabat saya yang sedang melanjutkan S1-nya di UIN-Sunan Kalijaga, Jogjakarta.-------– Praktik muamalah yang ditulis dalam bentuk futures tersebut, benar-benar terjadi di suatu desa, tepatnya di Desa Bla-bla, Kecamata Bla-bla, Kabupaten Sumenep. --------------------
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI