Mohon tunggu...
Kacong Tarbuka
Kacong Tarbuka Mohon Tunggu... Media -

Hidup di tengah masyarakat agamis-kontekstualis membuat saya harus banyak belajar pada realitas. Terlalu banyak orang yang gampang mengkafirkan sesama, dan jarang orang yang bisa mengakui kesalahan, khususnya dalam perjalanan beragama. Mencari ketenangan dengan menulis, berkarya, serta mengangkat ketimpangan sosial menjadi bermartabat. Salam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Desa: “Pinjam Emas, Setor Uang “ dalam Perspektif Moralitas

25 Juni 2016   12:31 Diperbarui: 25 Juni 2016   13:09 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak muluk-muluk untuk menjadi manusia yang ingin menyandang predikat tertinggi di mata Tuhan, cukup dengan membuat keluarga, lingkungan, serta orang yang membutuhkan bantuan kita bisa tersenyum lebar tanpa batas ‘ ... Quu Anfusakum Naaran ....

-------—Tak begitu menarik jika judul tersebut dibenturkan dengan kaidah “fiqh”, jelas tak terbantahkan bahwa muamalah jenis tersebut termasuk “halal” secara mutlaq. Namun bagaimana jika dibenturkan dengan aspek sisi moralitas? lalu bagaimana dampaknya pada kehidupan sosial ? —----------

—-,

ABDUL HADI, 27, merasa gerah dan seolah tak betah di desanya. Sebab, ada praktik hukum yang lagi booming di desanya tak sesuai dengan kaidah moralitas, seperti “pinjam emas, setor uang”. Dibalut dengan hujjah yang tidak relevan, menjadikan praktik tersebut semakin menjadi king of the king, bahkan terasa mustahil jika dipinggirkan dari kehidupan masyarakat. 

Tahta yang sudah dibangun selama bertahun-tahun melalui praktik tersebut, menjadi salah satu alasan kenapa masyarakat desa tersebut masih menjalankan praktik tersebut. Sama halnya dengan alasan yang dilontarkan oleh masyarakat kawasan kampung prostitusi Doly, Jarak, Surabaya, penolakan tersebut karena mengingat pekerjaan mereka yang sudah turun-temurun. Namun, penulis tidak menyamakan antara praktik prostitusi dengan persoalan pinjam emas dan kemudian dibayar dengan uang, degan transaksi yang sudah disepakati.

Bankir berjalan inilah, menurut Hadi, menjadi salah satu faktor utama kemiskinan di desanya. Di tengah masyarakat yang cukup cerdas untuk memporak-porandakan hukum serta membedah hukum-hukum yang tak berpihak kepada kelompoknya, membuat masyarakat setempat semakin enggan untuk berkomentar. “Yang menjalankan bisnis tersebut, sudah faham tafsir semua,”. Begitu kata Hadi, saat berjumpa di salah satu Warung Kopi di Surabaya.

Di tengah kemarahan membara di hati Hadi, tetapi tak membuat ia terjatuh untuk tetap membangun desanya menjadi desa yang berkarakter dan tetap mengamalkan nilai luhuritas Islam dan adat ketimuran, yakni; damai. Terbukti, ketika ditanyakan mengenai nama lengkap desanya, ia tersipu malu. “Sudahlah, kopi masih pahit untuk diminum. Kopi ini lebih autentik, dibanding para kiai di desan yang hanya berkalung sorban namun tanpa sadar menginjaknya,” katanya seolah menghindar.

Orang yang baik adalah orang yang bermanfaat bagi masyarakat lain. Mungkin begitulah Al-Quran menggambarkan sosok masyarakat ideal. Bahkan, tak terhitung berapa tafsir yang menjelaskan mengenai masyarakat ideal. Namun intinya satu tujuan, yaitu menciptakan nilai solidaritas yang erat antar golongan. 

Saling tolong menolong dan membantu menyelesaikan persoalan di masyarakat, itu juga merupakan bagian dari gambaran masyarakat ideal. Ketika masyarakat sudah melakukan yang seharusnya, maka di situlah Tuhan akan menghantarkan surga dengan penuh hormat. “Segelas kopi hitam meskipun dibalut dengan empat sendok makan, maka aroma kopi tersebut tidak akan berubah menjadi gula. Terutama rasa pahit yang menikam. Begitulah logika hukum. Di bolak-balikpun, ketika menyalahi kaidah, tetap satu kesalahan yang utuh. Paham?,” katanya sambil menyeruput kopi hitam.

Salah satu cara mengukur hukum sesuai dengan kaidah Islam, jika hukum tersebut tidak memberatkan bagi masyarakat setempat. Jika hukum tersebut memberatkan atau bahkan mencekik, maka hukum tersebut perlu didaur ulang alias perlu ijtihan kembali. Karena sejatinya, terbentuknya satu hukum karena adanya interaksi masyarakat dengan alam. 

Tidak hanya itu, sifat hukum sangat elastis. Bisa berubah kapan pun, kecuali hukum yang bersifat ubudiyyah. Jika hukum tersebut masih bersentuhan dengan tindak-tanduk kehidupan sosial masyarakat, khususnya dalam bidang muamalah, maka jelas akan berubah sesuai dengan kaadaan zaman. Mungkin itulah salah satu manfaat dibalik teori kontekstual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun