TEORI PENGETAHUAN SEBGAI TEORI BAHASA
Dalam filsafat Hobbes, empirisme sudah muncul sebagai teori bahasa. Hobbes berpendapat bahwa kata-kata memperoleh maknanya dengan melukiskan pikiran. Karena dasar dari pikiran adalah pengalaman. Kata-kata pun harus diuji dengan pengalaman.
Dengan demikian, atas dasar itu bisa dikatakan kata-kata abstrak tidak memiliki acuannya pada pengalaman. Maka, kata-kata tidak tidak mengacu pada hakikat yang universal, melainkan pada hal yang bersifat partikular saja. Kata-kata hanya ditempelkan pada benda-benda sebagai sebutan saja. Kata tak punya kenyataan pada dirinya. Dengan anggapan ini Hobbes menolak pandangan dari Descartes bahwa kesadaran (yang kemudian terungkap dalam kata-kata) adalah kenyataan bagi dirinya.
MANUSIA SEBAGAI MESIN ANTISOSIAL
Dalam karyanya De Hommine, Hobbes menyebut manusia sebuah mesin antisosial. Filsafatnya menyebut, konsep jiwa kehilangan ciri metafisisnya. Sebab, jiwa tidak lagi di pahami sebagai sebuah kenyataan yang melampaui pengalaman. Melainkan hasil dari pengindraan jasmaniah.
Perasaan-perasaan dalam diri manusia adalah masukan-masukan dari luar melalui panca indranya yang menghasilkan reaksi-reaksi mendekati atau menjahui sebuah objek. Kalau mendekati reaksi ini disebut "nafsu", misalnya rasa nikmat, gembira, cinta dsb. Kalau menjahui reaksi ini disebut "pengelakan" misalnya benci, kesedihan, rasa takut, dsb. Kedua reaksi ini bersaing dalam diri manusia. Siapa yang menjadi pemenangnya disebut "kehendak". Pandangan reaksi-reaksi ini dalam psikologi disebut "determinisme psikologis".
Dari pandangannya itu, Hobbes menyimpulkan ajaran-ajaran etisnya. Konsep baik bisa dikenakan pada objek nafsu. Sedangkan konsep buruk didasarkn pada objek pengelakan. Secara fundamental, manusia pada dasarnya ingin memuaskan kepentingannya sendiri. Untuk mempertahankan dirinya sendiri manusia mencari kenikmatan dan mengelak dari rasa sakit. Manusia yang bijak adalah manusia yang mampu memaksimalisasi pemenuhan keinginannya untuk kesejahteraan individualnya. Oleh Hobbes ini diebut egoisme.
Pandangan manusia sebagai makhluk antisosial berdasar dari setiap pemeliharaan diri akan bertabrakan dengan hasrat pemeliharaan diri dari orang lain. Dalam persaingan ini, manusia harus saling merebutkan sumber-sumber yang langka, mempertahankan apa yang sudah dikuasainya, dan bahkan menundukan orang-orang lain. Hobbes menyebutkan kekuasaan sebagai sarana untuk mewujudkan pemeliharaan diri. Yang terjadi bagi kehidupan sosial tak kurang dari apa yang disebut bellum omnes contra omnia, atau perang semua melawan semua. Dalam perang itu, manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lopus.
NEGARA SEBAGAI LEVIATHAN
Berdasarkan konsep tentang kodrat egosentrisme dan antisosial dari manusia. Hobbes mengemukaan ajarannya tentang negara dalam karyanya Leviathan. Â Dalam Levhitan, negara di imajinasikan sebuah monster purbakala raksasa yang hidup di lautan. Namun dalam sampul buku itu digambarkan manusia raksasa yang terdiri atas banyak manusia-manusia kecil. Ini mengingatkan karya plato, manusia besar (macroanthropos).
Muncul sebuah pertanyaan, kalau pada dasarnya manusia itu egois, bagaimana kehidupan bermasyarakat itu menjadi mungkin diantara makhluk-makhluk yang keji, bengis, dan buas ini? Hobbes menjawab bahwa karena pemeliharaan diri menjadi kepentingan asasi setiap individu, saling menerkam menjadi tidak rasional, sebab berlawanan dengan kepentingan asasi itu. Karena hal itu, Hobbes membayangkan sebuah keadaan asali atau the state of nature. Saat manusia-manusia mengadakan kontrak sosial, semacam perjanjian damai yang menjadi dasar kehidupan sosial.