Kemudian aku melayangkan pertanyaan kepada lelaki senja. "Ketika ada ketimpangan dalam pabrik itu apa yang bapak lakukan? "
"sepertinya disemua pabrik pasti akan terjadi hal yang sama, tetapi saya putuskan untuk melawan." Ungkapnya
"kakek melawan dengan cara apa?" tanya ku sehabis menyeduh kopi marx
"diawal kita waktu itu hanya ada beberapa sesama buruh yang berani, paling 3 sampai 4. Tetapi lama kelamaan gerakan perlawanan ini menjadi 90% para pekerja di pabrik itu. Hal pertama yang saya bangun adalah membangun kesamaan nasib dan solidaritas dan apapun yang saya bisa. Misalnya saya bergerak dengan seni, membangun propaganda tulisan yang kemudian di tempelkan di sepanjang kawasan pabrik dengan dana patungan oleh semua pekerja pabrik yang terlibat didalamnya." JawabnyaÂ
"seiring berjalananya perlawanan itu, bagaimana dinamika yang terjadi waktu itu kek?" lagi lagi aku meneruskan pertanyaanku
"sangat kompleks ancaman dipecat, kemudia rumah saya di datangi preman dan bahkan diancam di bunuh. Tetapi tidak mematahkan semangatku untuk tetap dalam garis perjuangan. Dalam berjalannya waktu pernah terjadi mogok kerja yang itu membuat kalang kabut para pemilik modal dalam pabrik itu, al hasil salah satu tubtutan dalam aksi itu tercapai. Tapi, beberapa kawan saya sehabis gerakan mogok kerja itu sudah tidak terlihat lagi dalam pabrik atau di pecat. Akhirnya kita memutuskan untuk melakukan solidaritas demonstrasi kepada pemangku kebijakan, hasilnya pasti sudah tertebak. Nihil. Memang para pemangku kebijakan acap kali bersetubuh dengan para pemilik-pemilik modal. Langkah kedua yang kami lakukan adalah mendatangi petinggi pabrik dengan ancaman akan mogok kerja lebih lama. Waktu itu, ancaman yang kami lontarkan ternyata ampuh, kelompok kami yang di pecat kembali bekerja di pabrik itu." Jawaban yang sangat menginspirasi gerakan
Obrolanku yang menarik ini terhenti dikarenakan lelaki senja ini, mendapat panggilan dari anaknya dirumah yang mengharuskan beliau mengakhiri perjumpaan pagi ini.
Sangat menyimpan banyak pertanyaan yang aku pikirkan, mungkin suatu saat bisa ngopi baremh bersama lelaki senja revolusioner ini.
Pada akhirnya, simpang lima jalan bintang merah akan terus ada selama para penindas juga ada. Tidak ada yang tau kapan berakhirnya, filsuf barat pernah berkata "akhir dari kapitalisme adalah imperialisme" kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri dan pembaca "kapan dan melalui semiotic apa imperialisme sendiri akan berakhir?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H