Mohon tunggu...
Dani Febri
Dani Febri Mohon Tunggu... Penulis - Terpercaya, Akurat, dan Kredibel

Yakinkan dengan iman Usahakan dengan ilmu Sampaikan dengan amal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

MAY DAY: Simpang Lima Jalan Bintang Merah

30 April 2023   22:02 Diperbarui: 1 Mei 2023   00:12 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MAY DAY: Simpang Lima Jalan Bintang Merah

Oleh: Dani Febri

Tidak akan ada kebebasan yang nyata dan efektif dalam masyarakat yang didasarkan pada kekuatan uang. Dalam masyarakat, dimana para pekerja hidup dengan warna kemisikinan dan segelintir borjuasi yang hidup seperti parasit. 

Kebebasan dalam masyarakat kapitalis tetap sama seperti era Republik Yunani Kuno, hanya kebebasan untuk pemilik budak. Kebebasan penulis, artis atau aktris borjuis hanyalah ketergantungan terselubung pada kantong uang, korupsi, dan pelacuran.

Sebuah kisah di persimpangan jalan bintang merah. Pagi yang hangat, tubuh yang rentah, dan kantong yang kering membara aku bertemu lelaki senja di kedai kopi sosialisme milik Pak Romo. 

Nama kedai yang gegap gempita bagi orang yang berhaluan pembebasan. Pak Romo sendiri adalah seorang mantan aktivis mahasiswa yang kini akrab denganku di pertemuan simpang lima jalan bintang merah. Ia selalu menasehatiku apa yang menjadi kepentingan banyak kaum tertintas harus senantiasa kamu perjuangkan melalui circle kawan-kawanmu. Nasehat yang selalu aku ingat kala itu.

Simpang lima jalan bintang merah, nama kedai Pak Romo ini sangat filosofis bagiku dan mendukung pertemuanku dengan lelaki senja yang bernama Kakek Mukharom. Simpang lima sendiri secara historis adalah garis perjuangan sosialisme dalam simbolnya dan digunakan sebagai simbol murni sosialis di abad ke-21. 

Salah satu interpretasinya adalah melihat lima poin mewakili lima jari tangan pekerja, serta lima benua berpenduduk. Bintang merah adalah gambaran filosofis logo sosialisme yang ke lima titik sudutnya mewakili lima kelompok sosial (pemuda, militer, buruh, petani, dan intelegensia). Semua terangkum dalam nama kedai Pak Romo, Sosialisme. Itulah sekilas telisik simpang lima jalan bintang merah.

Pertemuan ku dengan kawan Pak Romo, si Lelaki Senja. Usut punya usut Pak Romo mengenalkan ku dengan lelaki senja ini untuk memberikan pengalaman yang ia dapatkan selama berjuang sebagai buruh pabrik dan hak-hak buruh yang harus didapatkan. 

Aku sangat larut ketika ia berujar "buruh tidak akan pernah kaya, buruh hanya menajadi budak, rentan diperas jasanya oleh sang pemilik modal" tidak hanya lelaki perempuanpun bernasib sama. Ia rentan mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh oleh para petinggi pabrik. 

Sejenak ketika menyentuh pembahasan buruh perempuan, aku teringat oleh ujaran Lenin "status wanita sampai sekarang telah dibandingkan dengan seorang budak dan hanya sosialisme yang dapat menyelamatkan mereka."

Kemudian aku melayangkan pertanyaan kepada lelaki senja. "Ketika ada ketimpangan dalam pabrik itu apa yang bapak lakukan? "

"sepertinya disemua pabrik pasti akan terjadi hal yang sama, tetapi saya putuskan untuk melawan." Ungkapnya

"kakek melawan dengan cara apa?" tanya ku sehabis menyeduh kopi marx

"diawal kita waktu itu hanya ada beberapa sesama buruh yang berani, paling 3 sampai 4. Tetapi lama kelamaan gerakan perlawanan ini menjadi 90% para pekerja di pabrik itu. Hal pertama yang saya bangun adalah membangun kesamaan nasib dan solidaritas dan apapun yang saya bisa. Misalnya saya bergerak dengan seni, membangun propaganda tulisan yang kemudian di tempelkan di sepanjang kawasan pabrik dengan dana patungan oleh semua pekerja pabrik yang terlibat didalamnya." Jawabnya 

"seiring berjalananya perlawanan itu, bagaimana dinamika yang terjadi waktu itu kek?" lagi lagi aku meneruskan pertanyaanku

"sangat kompleks ancaman dipecat, kemudia rumah saya di datangi preman dan bahkan diancam di bunuh. Tetapi tidak mematahkan semangatku untuk tetap dalam garis perjuangan. Dalam berjalannya waktu pernah terjadi mogok kerja yang itu membuat kalang kabut para pemilik modal dalam pabrik itu, al hasil salah satu tubtutan dalam aksi itu tercapai. Tapi, beberapa kawan saya sehabis gerakan mogok kerja itu sudah tidak terlihat lagi dalam pabrik atau di pecat. Akhirnya kita memutuskan untuk melakukan solidaritas demonstrasi kepada pemangku kebijakan, hasilnya pasti sudah tertebak. Nihil. Memang para pemangku kebijakan acap kali bersetubuh dengan para pemilik-pemilik modal. Langkah kedua yang kami lakukan adalah mendatangi petinggi pabrik dengan ancaman akan mogok kerja lebih lama. Waktu itu, ancaman yang kami lontarkan ternyata ampuh, kelompok kami yang di pecat kembali bekerja di pabrik itu." Jawaban yang sangat menginspirasi gerakan

Obrolanku yang menarik ini terhenti dikarenakan lelaki senja ini, mendapat panggilan dari anaknya dirumah yang mengharuskan beliau mengakhiri perjumpaan pagi ini.

Sangat menyimpan banyak pertanyaan yang aku pikirkan, mungkin suatu saat bisa ngopi baremh bersama lelaki senja revolusioner ini.

Pada akhirnya, simpang lima jalan bintang merah akan terus ada selama para penindas juga ada. Tidak ada yang tau kapan berakhirnya, filsuf barat pernah berkata "akhir dari kapitalisme adalah imperialisme" kemudian aku bertanya kepada diriku sendiri dan pembaca "kapan dan melalui semiotic apa imperialisme sendiri akan berakhir?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun