Kota adalah ruang yang memiliki arti penting terhadap kehidupan manusia. Berbagai aktivitas manusia yang kompleks terjadi pada wilayah perkotaan (urban area). Hal ini mendukung sebuah pendapat bahwa kota adalah tempat bagi kebanyakan manusia untuk hidup dan bekerja. Dalam berbagai kajian global, menyebutkan bahwa hampir sebagian besar populasi manusia didunia hidup diwilayah perkotaan.Â
Setidaknya kesimpulan ini mengacu pada data populasi dari Department of Economic and Social Affairs, United Nation yang menyatakan bahwa pada tahun 2016 saja terdapat sebanyak 54,5 persen dari populasi manusia didunia yang hidup diperkotaan. Sementara itu, menurut laporan Global Cities tahun 2017 jumlah populasi dunia yang hidup di kota diperkirakan sebanyak 4 milyar orang. Jumlah ini meningkat 23 persen dibanding satu dekade belakangan.
Di Indonesia, jumlah populasi yang tinggal diwilayah perkotaan menurut Data World Bank dalam satu dekade terakhir menunjukkan kenaikan pula sebesar 7 persen. Berdasarkan data terakhir yang diperoleh, jumlah urban population di Indonesia tahun 2018 diperkirakan sebesar 147,6 juta orang, setelah sebelumnya berada di angka 144,3 juta populasi yang hidup diwilayah perkotaan pada tahun 2017 silam.Â
Ini artinya jumlah populasi yang hidup diperkotaan akan terus bertambah disetiap tahunnya. Tentu saja, kondisi ini bisa memicu hadirnya berbagai kemungkinan diberbagai wilayah perkotaan Indonesia yang secara garis besar bisa dikategorikan menjadi sebuah peluang untuk maju atau justru menimbulkan masalah. Kondisi ini akan menjadi peluang yang positif apabila kota-kota di Indonesia memiliki ketahanan (city resilience) yang baik terhadap arus urbanisasi maupun berbagai dampak sistemik lainnya melalui sistem pengelolaan kawasan kota yang baik. Mampu melakukan perencanaan, memetakan berbagai masalah yang ada dan menyelenggarakan solusinya dengan baik.
Namun yang menjadi catatan, kompleksitas masalah yang ada diperkotaan tersebut membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Tanpa kualitas, sumberdaya manusia yang ada hanya akan menjadi "beban sosial" yang membuat stagnansi bahkan penurunan kualitas pengembangan kawasan perkotaan. Akibatnya, jumlah populasi yang besar dikawasan perkotaan hanya akan menjadi variabel dari sebuah masalah. Bahkan seolah menjadi population curse (kutukan populasi) yang sifatnya paradoks sehingga malah bertentangan dengan kemajuan kualitas kota yang lebih baik.
Berdasarkan kategori wilayah perkotaan menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) pasal 12, maka Kota Raha diklasifikasikan kedalam kategori kawasan perkotaan kecil. Kawasan perkotaan kecil ini memiliki kriteria jumlah penduduk lebih dari 50 ribu sampai dengan 100 ribu jiwa.Â
Rasio jumlah penduduk terhadap satu kilometer persegi luas wilayah adalah sebesar 106 jiwa/km2 dengan rata-rata jumlah penduduk per rumah tangga adalah 5 orang. Kondisi ini memungkinkan  bahwa perencanaan pengembangan dan penataan kawasan perkotaan dapat dilakukan secara lebih leluasa dengan masterplan yang jelas-berkesesuaian.
Perencanaan pengembangan dan penataan kawasan perkotaan merupakan proses yang sama kompleksnya dengan berbagai masalah yang ada di Kota Raha. Hal itu didasari alasan bahwa kota harus lah menjadi ruang yang nyaman bagi siapapun. Suatu hal yang kontradiksi tentunya dengan Kota Raha yang masih memiliki banyak masalah. Selain itu, kota juga harus memiliki kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh setiap orang dan mampu mendukung setiap usaha yang dilakukan. Itu artinya, seluruh dimensi kehidupan yang erat kaitannya dengan kota adalah hal yang penting untuk direncanakan. Sekurang-kurangnya perlu ada berbagai pertimbangan menurut dimensi ekonomi, sosial, seni-budaya, politik dan lingkungan dalam aktivitas pengembangan dan penataan tersebut.
Begitupula dengan lingkup budayanya yang menjadi salah satu domain yang dipertimbangkan dalam tujuan berpariwisata. Perpaduan antara bentang fisik dan bentang budaya adalah racikan yang "mujarab" untuk meningkatkan bargaining position suatu daerah khususnya dibidang perpariwisataan. Sementara itu, kemampuan dari tiap stakeholder dalam menerjemahkan tiap potensi menjadi desain pariwisata yang menarik akan menentukan sejauh mana keberhasilannya. Belum cukup sampai disitu, kolaborasi antar elemen maupun unsur didalam masyarakat juga sangat diperlukan, kesamaan visi serta gerak bersama menjadi penentu pula.
Dan pilihan untuk mengembangkan sektor pariwisata mengharuskan sebuah kota mesti ditampilkan dalam nuansa yang inklusif, menjadi tempat yang nyaman, indah dan mampu mengakomodir kebutuhan masyarakat baik lokal maupun wisatawan serta menonjolkan karakteristik domain pariwisata secara umum dalam wajah pembangunan kawasan kotanya.
Sebab, bila kita berbicara pariwisata maka kita tidak hanya berbicara persoalan obyek wisata yang indah dan juga budaya yang menarik, tetapi pembahasan tentang infrastrukstur pariwisata maupun kualitas manusia yang tercermin dalam  proses penyelenggaraan program maupun kebijakan pariwisata justru akan jauh lebih dibutuhkan saat ini.Â
Setidaknya pembahasan tersebut berpedoman pada pertimbangan ekonomi (kesejahteraan masyarakat), budaya (pelestarian budaya) dan lingkungan (keberlanjutan ekologi) yang erat kaitannya dengan kegiatan pariwisata. Dengan harapan, adanya pengembangan pariwisata dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan hidup masyarakat baik masyarakat kota maupun masyarakat pedesaan.
Dengan begitu, butuh strategi yang komprehensif dalam pengembangan kawasan dibidang atau sektor apapun yang menjadi orientasi utama. Tentu saja, seperti pada umumnya kota modern saat ini, upaya dalam pengembangan dan penataan Kota Raha tersebut sangatlah memerlukan konsep (urban design) atau tema tertentu yang tepat sesuai dengan karakteristiknya sendiri. Kajian terkait konsep atau tema yang sesuai selanjutnya akan dibahas pada tulisan berikutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H