AA Navis Sastrawan kita yang jadi sastrawan dunia. Apa yang perlu dikenang dari seorang sastrawan yang karyanya terus bertahan? Sarkas, mengukik-ulik perasaan  lewat pertanyaan-pertanyaan sumir, sulit, seperti; apa yang kau cari? Akh, orang-orang masih ingin mengenangnya dalam ketiadaan yang terus mengada. Dalam karya yang hidup, dalam kebodohan yang masih saja ada dalam naskah kehidupan kita hari ini. Navis, kau masih akan terus dikenang.
Tahun ini, 100 tahun umurnya,Selasa pukul 9 pagi, 5 Desember 2023, cuaca Kota Padang sedang mendung. Di sebuah Aula kecil, di Jalan Situjuh Jati Baru Padang tampak beberapa orang seniman, budayawan dan akademisi pengkaji sastra beriring-iri memasuki ruangan. Tempat berukuran tak lebih dari 60 m2 itu biasanya dipakai untuk kelas kuliah mahasiswa pasca sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Andalas Padang, jadi memang tidak cukup luas untuk menampung banyak orang. Kapasitasnya, lebih kurang hanya untuk 30 orang saja. Pagi itu, ada acara istimewa, peringatan 99 tahun AA Navis.
 Ali Akbar Navis namanya, disingkat AA Navis. Seorang sastrawan dunia dari Sumatera Barat. Menuliskan kata sastrawan dunia ini terus terang membuat tangan saya gemetar. Saya seolah mengalami adrenalin rush, terasa jantung berdegup lebih kencang dan aliran darah mengalir deras ke otot dan otak. Ya, seseorang memang berpotensi mengalami hal ini jika sesuatu peristiwa istimewa memberi rangsangan pada tubuhnya. Dan nama AA Navis, bagi saya, tentunya juga bagi banyak penulis, jurnalis dan sastrawan khususnya di Sumatera Barat, selalu dapat memicu adrenalin itu. Kata-kata yang dia torehkan di lembaran-lembaran karyanya penuh dengan ketajaman analisis dan sarkasme khas Minangkabau. Dan saya termasuk generasi yang beruntung, masih bisa berinteraksi dengan tokoh kaliber dunia ini walau hanya beberapa saat di ujung masa hidupnya. Navis meninggal tanggal 22 Maret 2003.
Bagi banyak orang, Robohnya Surau Kami adalah karya AA Navis yang paling menjadi buah bibir. Bagi saya, hampir semua karyanya menggoda pikiran. Cerpen yang paling dahsyat itu justru, Bertanya Kerbau Ke Pedati. Dengarlah kutipan ini;
"Ku kira, aku menjadi tidak normal melihat kesengsaraan binatang itu....Lalu aku berteriak kuat kuat dan sepanjang nafasku: "Berontaaaaak."
Navis memang hanya bercerita soal  hewan yang disebut kerbau dan penderitaannya. Namun, itulah sastra.  Sebuah narasi nan fiktif, walau hanya tentang seekor kerbau namun pemberontakan bukan perkara binatang, ini soal ketertindasan dan kedunguan manusia juga.  Pada soal seperti inilah Navis ahlinya. Dia pengarang besar. Dia seorang yang berpengaruh, tidak saja bagi Indonesia tetapi juga diakui dunia.
Pada penutupan Sidang Umum UNESCO ke 42 di Paris, Prancis, Rabu (22/11/2023) lalu nama AA Navis disebut bersamaan dengan nama Laksamana Keumalahayati seorang pejuang perempuan dari Aceh, sebagai tokoh dunia yang hari kelahirannya akan dirayakan sebagai hari perayaan internasional. Tidak hanya itu, pada momen tersebut Bahasa Indonesia juga diakui sebagai bahasa resmi dan akan digunakan dalam sidang-sidang umum PBB sebagai bahasa internasional. Kabar ini diumumkan langsung oleh Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay.
Begitu kabar pengumuman itu sampai ke Indonesia, sontak, media-media nasional heboh. Kegembiraan terpancar jelas. Berita-berita baik di koran arus utama seperti Kompas, Republika, Tempo maupun media online seperti Detik , kumparan, katadata dan sebagainya langsung bersebaran. Nama AA Navis naik di jejeran teratas mesin pencarian google. Namun ironinya, di Sumatera Barat, berita seperti ini tidak terlacak. Bahkan Pemerintah daerah juga belum terdengar memberi respon dan membuat gelaran acara kegembiraan. Hanya ada sekelompok kecil penulis, peneliti dan sastrawan yang teringat mengadakan acara, 99 tahun Membaca Kembali AA Navis. Kelompok kecil inilah yang berkumpul di aula Jalan Situjuh itu.
Walau dalam ruang yang sempit dan itupun setelah dipindahkan dari lokasi acara yang semula, berdasarkan flayer, akan diadakan di Ruang Seminar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Andalas, acara berjalan khidmat. Ada E.S Ito, novelis Indonesia dari Sumatera Barat yang karya-kayanya juga difilmkan. Ito datang dalam kapasitasnya sebagai  penulis skenario film Robohnya Surau Kami. Ada Ivan Adilla, seorang akademisi dan kritikus sastra yang pernah berinteraksi langsung dengan AA Navis sepanjang masa hidupnya. Dan ada sastrawan 'sarkasi' muda Heru Joni Putra, seorang penyair dan kolumnis budaya yang terkenal setelah eranya AA Navis. Moderator pada kesempatan tersebut Pandu Birowo, seorang dramaturgi dan akademisi di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang. Sayangnya Pandu terlambat pula datang, sehingga untuk sesi pertama diskusi bersama E.S Ito terpaksa dipandu oleh Dedi, anak AA Navis yang datang mewakili Yayasan Navis. Diselingi acara pembacaan puisi dan ditutup dengan musikalisasi yang dibawakan Wendy Hs bersama Jumaidil Firdaus, acara berjalan dengan sederhana dan khidmat.
Eddri Sumitra alias E. S Ito bicara dengan seriud dan dalam tentang Navis. Dia mengkaji karakter-karakter tokoh dalam karya-karya Navis dan dikaitkannya dengan karakter umum orang Minangkabau. Menurutnya, Efendi, salah satu tokoh Navis dalam Antalogi Menuju Bintang-Bintang cukup mampu memberikan gambaran bagaimana karakter orang Minang itu sesungguhnya yaitu mampu bertahan dalam berbagai kondisi zaman. Ya, ito mungkin sedang menghibur saya (baca; kita orang Minang) Â dengan melihat sisi positif atau memberi cara pandang positif agar kebanggaan diri kita sebagai etnis minang tidak rusak oleh cemoohan dunia luar. Menurut Ito lagi, Â A.A Navis meninggalkan kegembiraan abadi buat anak-anak dan pembacanya. Bukan untuk orang yang tidak mengenalnya.
Berbeda dengan Ito, Heru Joni Putra (HJP) malah menantang dan mempertanyakan kesiaapan orang Sumatera Barat membicarakan kembali gagasan-gagasan Navis di tengah budaya feodalisme yang menurut HJP semakin menguat di daerah ini. "Ingat, Pak Navis anti feodal. Kita sekarang di Minang justru menjadi sangat feodal," ujar penulis yang terkenal dengan kolom berbahasaminangnya Cubadak Kantang.