Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Memaksa Kerbau untuk Mencintaimu

28 Desember 2019   08:24 Diperbarui: 28 Desember 2019   08:29 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Imron Supriyadi 

Satu tandan pisang, itu tidak akan semuanya bagus," ujar Gus Pri membuat perumpamaan. "Sekarang tinggal kita, mau jadi pisang bagus yang enak dimakan, atau jadi pisang busuk yang dibuang pemiliknya. Masih mending kalau jadi makanan burung Kutilang, namanya masih bermanfaat. Lha, kalau dibuang? kan masuk kotak sampah?" jawaban Gus Pri pagi itu mengaduk-aduk batin dan logika Nyai Hayat.

Sudah enam tahun ini, Gus Pri, putra tunggal Kiai Salam almarhum dan istrinya, Nyai Hayat mengelola Rumah Tahfidz Al-Quran di Palembang. Menjadi pengasuh Rumah Tahfidz, bagi Gus Pri bukan menjadi cita-cita awalnya.

Kata Gus Pri suatu hari pada saya, mengelola Rumah Tahfidz ini hanya meneruskan titah Kiai Salam dan Kakeknya Kiai Alidirejo, yang keduanya juga guru mengaji.

Sebab, sejak kami sama- sama sekolah di Mualimin Desa Tanjungraja, Gus Pri tidak suka mengaji dan membaca kitab. Gus Pri justeru suka menjadi sutradara dalam permainan drama bersama kawan sekolahnya.

Baik di panggung sekolah atau di TVRI Palembang. Sesekali, saya juga dipaksa ikut main, walaupun sebenanya saya tidak cukup berbakat menjadi aktor. Tapi berkat ketekunan Gus Pri melatih, saya sedikit-sedikit bisa akting.

Bahkan, setiap libur sekolah, Gus Pri mengajak beberapa kawan ke rumahnya, bukan belajar mengaji, atau belajar ilmu tajwid, nahwu dan shorof. Tetapi berlatih main film seperti para aktor dan aktris kawakan seperti di beberapa televisi.

Untuk meyakinkan kawan sepermainannya, selain Gus Pri menjadi sutradaranya, Gus Pri juga merangkai beberapa potongan papan bekas dengan paku, dan dibentuk seperti kamera tiruan. Saya, kadang dipaksa Gus Pri memegang kamera palsu yang dibuatnya.

Kali itu, Gus Pri mendaulat beberapa kawannya berakting di depan kamera. Kalau malam tiba, Gus Pri menarik kabel listrik dan memasang sebuah bola lampu dalam kamera palsunya, sehingga muncul gambar-gambar yang diambil dari klise foto, atau lukisan diatas plastik yang kemudian terpancar di tembok, seperti layar tancap di kampung-kampung.  

Tapi sejak awal, almarhum Kiai Salam tak merestui hobi Gus Pri. Kiai Salam berkeinginan agar kelak Gus Pri menjadi kiai, bukan menjadi bintang fim dan sinetron.

Paling tidak, kata almarhum, Gus Pri harus menjadi guru ngaji di kampungnya, sebagimana yang dilakukan Kiai Salam, sejak tamat dari Pondok Krapyak Yogyakarta, hingga akhir hayatnya.

"Ndak usah pengen jadi bintang film! Kowe kudu dadi kiai, atau guru ngaji di kampung. Jadi bintang film itu banyak maksiat. Nanti kamu pegang-pegangan dengan perempuan yang bukan muhrim. Haram itu!" pesan almarhum Kiai Salam itu, hingga kini masih terngiang di benak Gus Pri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun