[caption caption="Para santri sedang be;ajar di Rumah Tahfidz Baitullah Palembang"][/caption]Saya dan isteri, secara akademik tidak memiliki pengalaman menghafal Al-quran. Bila kemudian kami membuka rumah tahfidz (rumah penghafal al-quran), bermula dari empatik kami terhadap sejumlah anak-anak yang tidak mengaji. Alasan mereka sebagian tidak punya biaya bulanan untuk ustadz/dzah-nya. Dan terbukti, sebagian wali santri buruh harian.
Secara kebetulan, H Anas Syamsi (alm) dan Hj Rukmini (sepasang suami isteri di Palembang asal Sulit Air Solok Padang Sumatera Barat), berkenan memberi ruang bagi kami, di sebuah rumah persis di belakang Masjid Baitullah untuk kami jadikan rumah tahfidz, sebagaimana kami kelola sekarang.
Gayung-pun bersambut. Dalam dua pekan, ada 10-16 santri yang kemudian mengaji dengan kami. Tanpa bayaran. Tapi sebagai akad komitmen mereka pada lembaga, mereka kami wajibkan membayar dimuka Rp.50 ribu. Setelah itu bebas beaya. Sejumlah uang itu kemudian kami peruntukkan membeli alat-alat mengaji, Al-quran, buku metido Iqra, karpet dan lainnya.
Sebagaimana disamapikan di setiap event oleh Ustadz Yusuf Mansyur, target dari rumah tahfidz, mencetak para penghafal al-quran (hafidz/dzah). Dengan sendirinya, kami juga bertanggungjawab mendidik santri untuk mencetak hafidz/dzah. Apalagi, rumah tahfiz yang kami kelola selalu bersinergi dengan rumah tahfidz lain di Palembang, yang merupakan jejaring Daarul Quran Ustadz Yusuf Mansyur.
Pengalaman sedikit yang kami punya, secara perlahan kami terapkan dengan tetap menggali metode penghafal Al-quran dari beberapa buku terbitan Daarul Quran, Rumah Tahfidz Ki Marogan Palembang juga dari sumber lainnya. Alhamdulillah kami mendapat banyak ilmu dari sumber-sumber itu.
Tapi hingga sekarang metode yang kami pakai, masih menerapkan metode lama di era-80-an dengan kolaborasi metode Iqra. Disinilah dilema kami dalam mengajar. Di satu sisi kami dituntut mencetak penghafal Al-quran, tapi disisi lain kami juga harus membenahi bacaan santri, yang faktanya perlu diluruskan pengucapannya (lafadz).
Baik dari sisi makhoorijul huruf (tempat keluarnya huruf), atau tajwid (panjang pendeknya bacaan). Apalagi masuk pada terjamahan dan makna kedalaman al-quran, itu belum kami lakukan. Sebab semua itu butuh proses yang tidak sebentar.
Jadi konsentrasi kami di tahun ini (2015) masih memperbaiki bacaan. Namun dengan menerapkan “metode lama” sebagaimana yang pernah dipakai ayah saya di era 70-80-an, secara perlahan santri di tempat kami mengajar bisa kami latih menghafal. Caranya, setiap santri berkewajiban menghafal surah-surah pendek (juz 30), setelah sebelumnya mereka membaca surah al-fatihah sebagai pembuka.
Pada proses ini, kami wajib memulai kembali dari bawah. Sebagian santri, bahkan harus kami paksa mulai membaca dari iqra. Meskipun diantara santri, ada yang melanjutkan surah yang sebelumnya pernah diajarkan di tempat pengajian lain. Tapi, setiap hari para santri harus melatih bacaan huruf-huruf hijaiyah.
Sebab pada kenyataannya, banyak lafadz huruf yang salah ucap, sehingga kami berkewajiban memperbaiki bacaan, sebelum terlanjur salah. Bila kesalahan itu hanya sebatas dialeg, karena berbeda daerah “jawa-sumatera” tentu tidak terlalu riskan.
Seperti huruf “Dal” akan sulit dibaca secara sempurna bagi lidah etnik tertentu. Sehingga ketika membaca “Dal” lafadz yang muncul seperti diucapkan pada lafadz “Jo-dha”, bukan pada kalimat “Sidodadi” versi etnik jawa yang melafadzkan.
Perbedaannya memang sangat sedikit. Huruf “Dal” pada lafadz ”Jo-dha” lidah tertarik ke atas langit-lagit. Sementara “Dal” pada lafadz “Sidodadi” lidah keluar sedikit, kemudian lidah akan tampak berada diantara katupan gigi atas dan bawah. Secara harfiyah, maknanya tidak berubah. Namun menurut sejumlah sumber, jika hal itu dinilai dalma lomba Musabaqah Tilaqatil Quran (MTQ), sudah masuk salah satu kesalahan kecil (khoufi). Tetapi jika kesalahan pada tajwid-nya, maka ia masuk dalam kategori kesalahan besar (jali).
Faktanya diantara santri kami, ada yang sudah terbiasa membaca huruf yang salah. Kata mereka ini tradisi di sekolah yang sudah bertahun-tahun. Akibatnya, arti dan makna juga berubah. Kebiasaan lidah di sekolah yang terbiar tanpa dikontrol oleh guru telah merusak cara santri membaca al-quran.
Misalnya dalam bacaan di akhir surah al-fatihah. Seharusnya : ghoiril magh-dhuubi ‘alaihim, ternyata setelah didengar saksama, menjadi: roiril...(bukan ghoiril). Huruf “ghin” berubah menjadi huruf “ro” yang jelas akan merubah makna. Ini bukan hanya satu atau dua santri, hampir mayoritas santri baru yang kini menjadi tanggungawab kami.
Di antara wali santri, dalam perjalanan enam bulan terakhir menyoal tentang hasil hafalan putra-putrinya. Pertanyaan itu berdasar pada keinginan kuat, betapa mereka bermimpi menjadikan putra-putrinya menjadi penghafal Al-quran. Sebagian wali, mungkin tidak pernah melakukan kontrol di rumah bagaimana “lidah” putra-putrinya saat mengucapkan huruf hijaiyah.
Tapi syukur alhamduilllah, secara perlahan para wali santri bisa memahami. Saya kemudian sampaikan kepada mereka; akan lebih baik bacaan atau cara membaca diperbaiki lebih dulu, baru kemudian menghafalnya. Sebab, diantara santri ada yang sudah hafal juz 30, tetapi sangat banyak huruf dan tajwid yang ditabrak. Akibatnya, saat lomba di sekolah sang santri tidak mendapat yang terbaik. Disinilah dilema yang hingga saat ini sedang kami perbaiki, sehingga ke depan akan lebih baik. Insya Allah. Mohon doanya dari semua.
Palembang, 8 November 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H