Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Iblis Membentangkan Sajadah

12 September 2015   01:20 Diperbarui: 12 September 2015   01:23 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**

Ba’da Subuh. Orang-orang sudah beranjak dari Masjid. Mereka menuju ke rumahnya masing-masing. Dan beberapa menit, atau beberapa jam kemudian, masing-masing orang sudah disibukkan oleh pekerjaan keseharian. Apalagi kalau bukan untuk  mempertahankan hidup. Masjid menjadi lengang dari jamaah. Sementara, Iblis tetap duduk bersimpuh di depan mihrab. Ia begitu khusyuk.  Seolah, Iblis sedang bertaqorrub kepada Tuhan. Dalam keheningan, isak tangis Iblis terdengar samar. Sesekali, Iblis menyeka air matanya yang ber-urai. 

Tak lama kemudian, Kiai datang.  Iblis tak menghiraukan kedatangan Kiai. Sesaat, ia memperhatikan Iblis itu.   Tetapi kemudian, Kiai  mengalihkan pandangannya ke hadapan sajadah, dan melakukan sholat sunnah.

Usai sholat, Kiai kembali memperhatikan gerak-gerik Iblis, yang masih tetap khusyuk.  Dan tidak berapa lama, Iblis mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya. Ia baru selesai melakukan ritual ke-agamaan. Matanya masih sembab. Karena sejak pagi tadi,  Iblis itu menangis.

 “Blis, Aku  ini heran”, Kata Kiai setelah duduk di sebelah Iblis.

“Kenapa, Kiai?”

“Kau ini aneh.  Kau kan mahluk  yang diusir dari Sorga oleh Tuhan. Tetapi, hari ini, Kau menangis sejadi-jadinya di hadapan Tuhan”.

Mata Iblis berbinar. Ia merasa berhasil menarik perhatian Kiai.

“Saya hanya berusaha, Kiai. Siapa tahu, dengan tangisan ini, saya dan kawan-kawan bisa mendapat pengampunan”.

“Tetapi, bagaimana bisa Kau menangis, sementara, selama ini Kau sudah menanam kebencian terhadap Tuhan?”

 “Ah, Kiai  bisa saja. Tangisan ini kan konsekuensi dari pangakuan dosa saya”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun