Dalam konteks yang lain lagi, misalnya ; Gerakan Jumat Bersih (GJB) di kampung-kampung, juga menunggu SK Walikota. Membersihkan got dan mengecat pagar, menunggu lomba kebersihan lingkungan, atau membersihkan kursi dan memperbaiki perabotan rumah, menunggu lebaran tiba dan lain sebagainya.
Ini adalah potret nyata, betapa sikap bersih kita terhadap lingkungan, yang tidak langsung berhubungan dengan kita, hanya kebersihan yang dilatari oleh kesadaran palsu (kamuflase). Yang terjadi kemudian adalah, kebersihan bukan berjalan secara natural yang bermula dari kesadaran diri terhadap pentingnya kebersihan bagi manusia dan lingkungan, melainkan menjadi kebersihan struktural. Semua menunggu perintah bos. Selagi tidak ada perintah atau berisiko akan menghilangkan “pendapatan” keseharian, sampah tetap akan terbiar begitu saja.
Kultur Kebersihan struktural ini, bukan saja pada kasus Off Air diatas tadi, tapi jauh lebih dari itu, masih banyak lagi contoh kasus yang secara tidak kita sadari, sudah menjebak kita, dalam sikap hidup yang selalu menjaga kebersihan karena struktural, bukan didasari kesadaran diri untuk selalu bersih, tanpa perintah atasan.
Masyarakat kita, ternyata hanya mempunyai dalil : bersih itu sehat, Jagalah kebersihan, atau bahasa agamanya : Kebersihan sebagian dari iman”. Bulshit! Sebab, kenyataannya, semboyan itu, hanya sebatas slogan. Sama artinya, seseorang boleh saja hafal ayat kursi, tetapi setelah berdiri dan mempunyai otoritas di sebuah lembaga, hanya kursinya yang di duduki, sementara ayat-ayatnya ditinggal begitu saja. Dan kita, semua kembali terjebak dalam kebersihan struktural.**
Tanjung Enim, 26 September 2005
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI