Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebersihan kok Nunggu Perintah, Bos

9 September 2015   06:29 Diperbarui: 9 September 2015   07:34 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam konteks yang lain lagi, misalnya ; Gerakan Jumat Bersih (GJB) di kampung-kampung, juga menunggu SK Walikota. Membersihkan got dan mengecat pagar, menunggu lomba kebersihan lingkungan, atau membersihkan kursi dan memperbaiki perabotan rumah, menunggu lebaran tiba dan lain sebagainya. 

Ini adalah potret nyata, betapa sikap bersih kita terhadap lingkungan, yang tidak langsung berhubungan dengan kita, hanya kebersihan yang dilatari oleh kesadaran palsu (kamuflase). Yang terjadi kemudian adalah, kebersihan bukan berjalan secara natural yang bermula dari kesadaran diri terhadap pentingnya kebersihan bagi manusia dan lingkungan, melainkan  menjadi kebersihan struktural. Semua menunggu perintah bos. Selagi tidak ada perintah atau berisiko akan menghilangkan “pendapatan” keseharian, sampah tetap akan terbiar begitu saja.

Kultur Kebersihan struktural ini, bukan saja pada kasus Off Air diatas tadi, tapi jauh lebih dari itu, masih banyak lagi contoh kasus yang secara tidak kita sadari, sudah menjebak kita, dalam sikap hidup yang selalu menjaga kebersihan karena struktural, bukan didasari kesadaran diri untuk selalu bersih, tanpa perintah atasan.

Masyarakat kita, ternyata hanya mempunyai dalil : bersih itu sehat, Jagalah kebersihan, atau bahasa agamanya : Kebersihan sebagian dari iman”. Bulshit! Sebab, kenyataannya, semboyan itu, hanya sebatas slogan. Sama artinya, seseorang boleh saja hafal ayat kursi, tetapi setelah berdiri dan mempunyai otoritas di sebuah lembaga, hanya kursinya yang di duduki, sementara ayat-ayatnya ditinggal begitu saja.  Dan kita, semua kembali terjebak dalam kebersihan struktural.**

 

Tanjung Enim, 26 September 2005

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun