Mohon tunggu...
IMRON SUPRIYADI
IMRON SUPRIYADI Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Tinggal di Palembang

Penulis adalah Guru Ngaji di Rumah Tahfidz Rahmat Palembang, dan Penulis Buku "Revolusi Hati untuk Negeri" bekerja sebagai Jurnalis di KabarSumatera.com Palembang. (www.kabarsumatera.com) dan mengelola situs sastra : www.dangausastra.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Suatu Pagi di Kantin Sekolah

5 September 2015   01:17 Diperbarui: 5 September 2015   01:44 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Iyo Bu, kalu bae biso dicubo?” Reni makin penasaran.

“Sebelum berhubungan, minta dulu sama suami. Kalau deal baru dikasih jatah, kalau tidak, suruh suami tidur di luar kamar,” kata saya sekenanya. Kali itu saya sengaja memancing suasana supaya ramai. Sekaligus untuk sosialisasi saya sebagai warga baru di komplek itu. Tepat dugaan saya, gelak tawa mereka pun meningkahi doa murid-murid sekolah yang terdengar samar.

“Aih, Bu aku ni bukan lonte!” ujar Reni. “Kalau dengan bebayaran cak itu, itu samo bae aku ni jadi lontenya suami aku!” Reni setengah tidak menerima.

“Tap bener nian kato Bu Pri! Aku jugo mak itu,” ujar Bu Wati yang sedari awal hanya diam. Tapi akhirnya terpancing juga. “Sebelum berhubungan, aku minta duit samo suami seperlunyo aku. Buat jajan, anak, jajan aku dan belanjo. Kadang-kadang aku minta lebih. Alhamdulillah dikasih terus samo suami aku,” Bu Wati tak tahan membuka aibnya.

“Jadi, setiap kali nak berhubungan, tawar menawar dulu?” Nadia penasaran.

“Dak mesti tawar menawar. Tapi kito kan pasti tahu kapan suami nak minta jatah. Laki kito itu kalau lagi kangen, pasti bekusel bae dengan kito. Tapi kalau lagi idak butuh, dio milih teduk di depan tivi dari pado teduk dengan kito. Tapi kalau lagi pengen, sejak kito masuk kamar la didekatinyo terus,” ujar Bu Wati tanpa malu-malu.

Sebagian ibu-ibu tertawa. Diantara mereka ada yang hanya tersipu. Mungkin ada diantara mereka yang juga melakukan hal serupa. Hanya saja pagi itu tidak mau menceritakannya. Kali itu pancing saya seolah mendapat ikan paus meski umpannya hanya ikan asin murahan.

“Jadi kapan minta duitnyo, Bu,” Reni makin penasaran.

“Cari waktu yang tepat. Pokoknyo jangan dulu dibuka sebelum ado deal,” tegas Bu Wati.

“Nah, kito kan biso menerka kapan suami kito benar-benar sudah on tau belum. Nah, saat itu tangan kito dibuka. Omongke be samo laki kito : Mano jatah duit untuk aku. Kasihke dulu duit, baru kito becinto,” Bu Wati menjelaskan secara teknis. Bu Wati sepertinya benar-benar menjalani proses itu sehingga dia menjelaskan sangat detil. Tapi saya tidak etis kalau harus menuangkan semua kisah Bu Wati dengan suaminya saat dia meminya uang di ranjang.

“Kalau suami nolak?” Nadia juga ingin tahu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun