Sebelumnya kalimat serupa juga pernah saya dengar dari salah satu ustadz di Palembang. Tapi apapun alasannya, saya tidak menerima argumentasi itu. Sebab bagaimana mungkin pasangan sah secara agama dan negara, kemudian mengaku diri kita sebagai WTS? Meski itu bagi suaminya sendiri. Jangankan itu, membayangkan orang lain saat berhubungan intim saja hukumnya berzina, apatah lagi mengaku WTS? Itu tidak bisa,” Batinku berontak.
“Maksudnyo kito ini harus bejualan cak WTS?” tanya Nadia.
“Bukan cak itu, Nad. Kata ustadzah, dalam al-quran disebut : isterimu adalah ladang bagi kamu. Maksudnyo bagi suami kito. Kalau namonyo ladang, kato Ustadzah, nak dicangkul dari mano bae terserah selera suami. Nak dari depan, dari belakang, nak nungging, nak ngangkang itu urusan kito dan suami. Tapi butuh kesepakatan,” ujar Bu Wati.
“Jadi kato kamu WTS tu dimanonyo?” serga yang lain.
“Siap melayani dengan segala gaya, itu kan service WTS. Jadi sebelum kita ngasih samo suami, kalau aku minta duit dulu samo dio, baru aku buka dan layani segala gaya. Kalu idak, aku tinggalke dari kamar dio. Palling-paling gek dijepitke pintu kamar,” kata Bu Wati yang ditingkahi gelaj tawa para ibu. Sebagaian hanya menggelengkan kepala. Tak jelas makna gelengan itu. Geli, lucu, atau entahlah...
“Tapi menolak suami itu bedoso lho, Bu?! Kita dikutuk sampai pagi samo malaikat,” ujar yang lain.
“Itu kan kewajiban kito melayani suami?!” timpal lainnya lagi.
“Bener, tapi dalam keluarga itu kan ada hak dan kewajiban. Jangan bae suami kito minta haknyo, minta jatah ranjang, tapi kewajiban dio dak dijalanke. Suami kito harus ngasih nafkah lahir, baru kito kasih service batin di ranjang,” Bu Wati setengah protes.
Sejumlah ibu-ibu ada yang membenarkan. Tapi dari sorot matanya ada juga yang menolak. Dalam hati saya hanya bersyukur : alhamdulillah Tuhan, suami saya sudah lengkap dunia akhirat. Saya tak perlu menjadi WTS bagi suami saya.**
Palembang, 4 September 2015