Mohon tunggu...
Amoye_Gakobubu News
Amoye_Gakobubu News Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Dou-Gai-Ekowai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

AMP Komite Kota Jakarta: "Melawan 5 Tahun Rasisme dan Tolak Perjanjian New York Agreement 62 Tahun"

15 Agustus 2024   20:00 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:09 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah badai protes penolakan otsus namun 30 Juni 2022 pemerintah juga mengesahkan UU DOB (Daerah Otonomi Baru) untuk papua tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat dan mahasiswa papua karena Otsus dan DOB adalah paketan produk kolonial yang tak lebih dari sekedar alat untuk meredam aspirasi politik rakyat Papua yang menghendaki hak penentuan nasib sendiri. Upaya-upaya untuk meredam aspirasi politik rakyat Papua tidak hanya dilakukandengan bujukan gula-gula Otsus dan DOB yang terus di paksakan. Namun Penangkapan dan pemenjaraan dengan pasal makar dan pasal pasal karet lainnya terhadap orang Papua maupun aktivis yang berbicara isu Papua menjadi incaran terus belanjut.

Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)
Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)

Selain itu, rasisme juga tumbuh subur terhadap orang Papua. Dimana 5 tahun yang lalu tepatnya pada 16 Agustus 2019 terjadi rasisme terhadap mahasiswa Papua di  Surabaya. Aksi protes terjadi dimana-mana, mulai dari luar Papua sampai Papua. Namun, beberapa orang ditangkap termasuk beberapa diantaranya 6 orang di Jakarta, 7 orang di Papua dan sebagian besar mahasiswa Papua melakukan  eksodus sebagi bentuk protes. Saat ini Viktor Yeimo masih ditahan dengan  tuduhan dalang daripada kericuhan di Papua saat protes di Papua, padahal aksi  protes besar-besaran tersebut dilakukan secara spontan untuk protes tindakan rasisme yang tumbuh subur.

Protes rakyat Papua terhadap isu rasisme itu bermula akibat sikap segelintir rakyat Indonesia dan oknum militer yang melakukan persekusi dan perlakuan rasis dengan label “usir Monyet” terhadap mahasiswa Papua di Malang, Surabaya dan Semarang berturut-turut pada tanggal 15-17 Agustus 2019. Akibat aksi rasis tersebut mendorong seluruh rakyat Papua melakukan protes di berbagai wilayah Tanah Papua dengan memobilisasi diri hampir di 42 kabupaten dan kota di Tanah Papua, 17 Kota di Indonesia dan 5 kota di luar negeri dengan tuntutan Lawan Rasisme dan Berikan Referendum bagi Rakyat Papua. Perlawanan tersebut mendorong aparat bertindak represif dengan menangkap 7 orang yang di tuduh sebagai dalang penghasutan demonstrasi damai di Papua selama Agustus-September 2019. Akibat perlawanan yang masih terjaga membuat ke tujuh tahanan dipindahkan ke Balik Papua dengan alasan keamanan, meski secara hukum hal tersebut nonprosedural, namun sikap rasis negara terhadap rakyat Papua mendorong hal tersebut tetap dilakukan. Sikap rasis negara tersebut juga dipertegas dengan mengirim 6500 personil Polisi Brimob dan Tentara yang bertugas pada ribuan Pos Militer dadakan hampir di seluruh kompleks di tingkat kabupaten dan kota di Tanah Papua dengan alasan mengamankan situasi yang dalam framing Indonesia sedang terjadi kekacaun skala besar di Papua. Akibat pola represif militer tersebut, terjadi penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang terhadap 72 rakyat Papua yang divonis makar, penghilangan nyawa secara paksa terhadap 35 orang Papua, 30 diantaranya di tembak mati, 284 orang terluka akibat pola represif, terjadi pengungsian skala besar (22.800 jiwa) di Nduga, peristiwa exdodus ke Papua dari 6000 pelajar dan mahasiswa Papua yang menimba ilmu di wilayah Indonesia hingga 23 kasus penyerangan terhadap Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua. Dampak represif tersebut terjadi  pada periode Agustus-Desember 2019.

Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)
Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)

Maka bulan Agustus ini menjadi bulan sejarah bagi rakyat Papua, dimana ketika rakyat Papua melakukan aksi protes atas penahan Viktor Yeimo di Jayapura, rakyat Papua selalu diperhadapkan dengan penumpahan darah. Salah satu bukti adalah Ferianus Asso, Ferianus nyawanya direnggut oleh aparat kolonial Indonesia dalam aksi ujuk rasa (PRP) di Yahukimo yang meminta agar segera bebaskan Viktor Yeimo, Tolak Otsus, Tolak DOB, Gelar Referendum. Namun hal seperti ini selalu diabaikan negara kolonial indonesia.karena pada dasarnya kehadiran Indonesia di atas Tanah papua tidak ada niat baik, kalimat “kesejateraan” pun hanya menjadi tameng untuk memperlambat perjuangan rakyat Papua untuk merdeka, berbagai rencana dan kegiatan yang dilakukan negara di atas tanah Papua semua itu hanya pencitraan untuk menjaga nama baik Indonesia di muka Dunia, salah satunya adalah kegiatan 17 Agustus. Sebelum melakukan kegiatan eforia tersebut rakyat Papua selalu akan jadi tumbal,maka bulan agustus ini menjadi bulan malapetaka untuk orang Papua, tanggal 15 agustus 1962 menjadi dasar sejarah yang telah tercatat dalam benak rakyat Papua sebagai awal dari malapetaka tersebut bahwa,kehadiran indonesi di atas Tanah Papua tidak ada Niat baik,indonesia hadir sebagai duri dalam daging yang membuat gelisah Tanah Papua beserta seluruh rakyat Papua.

Medan Juang,

Jakarta 15 Agustus 2024

Reporter: Amoye_Gakobubu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun