Mohon tunggu...
Amoye_Gakobubu News
Amoye_Gakobubu News Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Dou-Gai-Ekowai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

AMP Komite Kota Jakarta: "Melawan 5 Tahun Rasisme dan Tolak Perjanjian New York Agreement 62 Tahun"

15 Agustus 2024   20:00 Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:09 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)
Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)

Salam Pembebasan Nasional Papua Barat

Nimo, Koyao, Koha, Kosa, Dormum, Foi-Moi, Tabea mufa, Nayaklak, Nare, Yepmum, Walak,  Wainambe, Amakanie, Amolongo,  Kinaonak, Wiwao, Wa...wa...wa...wa…

Pada 15 Agustus 1962, tepat hari ini 62 tahun lalu, Perjanjian New York resmi ditandatangani. Dalam perundingan tersebut, Amerika Serikat (AS) menempatkan diri sebagai mediator. Amerika Serikat memainkan peranan besar dalam misi “pengembalian” Papua dari Belanda ke Indonesia melalui Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 karena Inilah pintu masuk AS ke tanah Papua untuk kepentingan ekonomi (modal) yang saat ini masih ada yaitu PT.Freeport bertahan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Perundingan tersebut dilakukan di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat, sejak 23 Maret 1962 itu berlangsung alot dan memakan waktu. Bahasan utamanya adalah soal Papua bagian barat (Irian Barat, Papua sekarang) yang saat itu masih menjadi sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Mempersoalkan Irian Barat Pengakuan kedaulatan Indonesia merupakan tindak-lanjut Konferensi Meja Bundar (KMB) yang digelar di Den Haag pada 2 November 1949. Salah satu persoalan penting yang belum disepakati dalam forum itu yakni mengenai status Papua bagian barat. Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak. Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut dengan nama Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia. Argumentasi yang dipakai adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda. Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, KMB memutuskan bahwa masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan (Amarulla Octavian, Militer dan Globalisasi, 2012:139).

Namun hingga 12 tahun berselang, persoalan itu belum juga dibahas lagi. Sampai akhirnya, Amerika Serikat yang justru terkesan paling bernafsu membicarakan status kepemilikan Papua bagian barat mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan. Amerika bahkan menawarkan diri sebagai penengah dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. Indonesia dan Belanda, atas desakan Amerika, akhirnya bertemu kembali di satu meja. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunker, bertindak sebagai penengah. Inti perundingan yang dikenal dengan nama Perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda harus menyerahkan Papua bagian barat kepada Indonesia selambat-lambatnya tanggal 1 Mei 1963 (Richard Chauvel, Constructing Papuan Nationalism, 2005:30). Selama proses pengalihan, wilayah tersebut akan dipegang sementara oleh United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Selain itu, Belanda juga harus menarik pasukannya dari Irian Barat. Sementara pasukan Indonesia diperbolehkan bertahan namun di bawah koordinasi UNTEA. Amerika Mengincar Papua Amerika punya alasan kuat untuk mencampuri status Irian Barat.

Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)
Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)

Perjanjian yang mengatur masa depan wilayah West Papua ini terdiri dari 29 Pasal yang mengatur sedikitnya 3 macam hal, di mana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) yang didasarkan pada praktik internasional yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Sementara pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia. Pada 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi wilayah West Papua pada pemerintah Indonesia. Setelah transfer administrasi, Indonesia bertanggung jawab mempersiapkan pelaksanaan pembangunan di West Papua dan terutama penentuan nasib melalui referendum sesuai amanah kesepakatan dalam Perjanjian New York. Akan tetapi, Indonesia malah melakukan pengondisian wilayah melalui berbagai operasi militer untuk menumpas gerakan pro kemerdekaan rakyat West Papua yang menghendaki West Papua untuk mendirikan pemerintahan sendiri. Celakanya lagi, klaim terhadap wilayah West Papua oleh Indonesia dilakukan sebelum proses penentuan nasib dilaksanakan. Pada 7 April 1967, Freeport sebagai perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani kontrak pertamanya dengan pemerintah Indonesia masuk melalui UU PMA tahun 1967. Sementara PEPERA sebagai pengejawantahan referendum yang juga bermasalah itu baru digelar dua tahun setelahnya tahun 1969.

Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) dilakukan secara tidak demokratis, di mana hanya 1.025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dibawa tekanan todongan senjata, intimidasi dan teror untuk memilih integrasi ke NKRI. Sehingga cuma 175 orang yang memberikan pendapat dari kurang lebih 800.000 jumlah orang Papua yang memiliki hak suara saat itu.

Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)
Input sumber gambar: Shoot Bye Ketua AMP Komite Kota Jakarta (Jeno Dogomo)

62 tahun telah berlalu sejak penandatanganan Perjanjian New York, Indonesia masih berupaya menancapkan pengaruhnya di tanah West Papua melalui kebijakan Otonomi Khusus (Otsus). Otsus di Papua sudah berusia hampir 20 tahun lamanya. Namun sejak UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus diberlakukan justru tidak ada perlakuan khusus yang bisa didapatkan oleh rakyat West Papua. Apa yang tampak khusus tak lain hanyalah pengiriman pasukan militer secara besar-besaran ke tanah West Papua. Kenyataannya Otsus tidak bisa memproteksi masyarakat adat West Papua  dariperampasan tanah untuk kepentingan investasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadi amanah dalam undang-undang Otsus tidak pernah dijalankan, tidak ada upaya untuk mengungkapkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua, sementara dari tahun ke tahun kasus pelanggaran HAM terus bertambah. Setelah masa pemberlakuan otsus jilid satu usai pada tahun 2021, rakyat Papua melakukan protes dengan aksi demonstrasi bahwa otsus selama 21 tahun di Papua, namun negara dan elit lokal maupun elit nasional seraca paksa menyesahkan UU nomor 2 Tahun 2024 otsus jilid 2. Dalam drfat UU Otsus baru tidak mengubah apapun, justrus negara melonggarkan pembentukan daerah/pemekaran sehingga tak lama pemekaran provinsi juga terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun