Penurunan angka pengangguran tersebut belum bisa kita klaim sebagai angin segar dalam upaya pengentasan kemiskinan akibat pengangguran. Angka 7,99 juta orang penganggur merupakan angka yang tergolong besar. Tidak ada jaminan dunia perekonomian akan bebas dari masa krisis karena perubahan selalu bisa muncul tanpa prediksi seperti kasus covid-19. Keberadaan golongan berpendidikan dalam barisan pengangguran membuktikan bahwa kontribusi pendidikan formal untuk mewujudkan kemandiran ekonomi semakin meragukan.
Kita akui atau tidak, lembaga pendidikan formal di Indonesia merupakan salah satu ‘pabrik’ pengangguran terbesar di Indonesia. Selama lebih dari dua dekade terakhir, lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi, secara aktif berkontribusi dalam menaikkan grafik penganggur dalam data statistik Indonesia.
Di Indonesia terdapat ribuan perguruan tinggi dengan jutaan mahasiswa. Semuanya adalah calon pengangguran. Kita tidak memungkiri keberadaan lulusan pendidikan formal yang bisa langsung mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tetapi, keberadaan kaum berpendidikan yang bisa mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak sebanding dengan kaum berpendidikan yang pengangguran dan sulit untuk mewujudkan kemandirian ekonomi.
Realitas tersebut terungkap dengan data statistik pengangguran bergelar sarjana yang relatif masih tinggi. Dengan demikian, upaya mendapatkan pekerjaan dan penghiduan yang layak bagi golongan berpendidikan, tidak ubahnya mengundi nasib.
Keberadaan lembaga pendidikan sebagai pabrik pengangguran tidak hanya terjadi di Indonesia. Fenomena tersebut telah menjadi wabah yang bersifat masif. Bahkan, Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara maju, tidak lepas dari kasus keberadaan lembaga pendidikan sebagai pabrik pengangguran. Tidak sulit menemukan pengangguran yang menyandang gelar akademis setara S3 (doktoral/Ph.D) di Amerika Serikat.
Memoar Robert T. Kiyosaki yang tertuang dalam buku Rich Dad, Poor Dad semakin menunjukkan bahwa pendidikan formal bisa menghambat upaya untuk meretas kemandirian ekonomi. Pada konteks buku tersebut, Rich Dad (Ayah Kaya) justru sosok yang tidak memedulikan pendidikan formal. Sang Rich Dad mendedikasikan hidup untuk pola perilaku yang terfokus sepenuhnya untuk memberdayakan diri dan mewujudkan kemandirian ekonomi. Di sisi lain, sang Poor Dad (Ayah Miskin) justru seorang yang berpendidikan tinggi dan menjalani profesi sebagai tenaga pendidik di lembaga pendidikan formal. Setelah kematian mereka, sang Rich Dad meninggalkan harta kekayaan yang berlimpah ruah. Di sisi lain, sang Poor Dad meninggalkan hutang.
Melalui berbagai ceramahnya, Muhammad Yunus yang meraih Hadiah Nobel Perdamaian dari Bangladesh, sering mengungkapkan kekeliruan paradigma pendidikan formal. Mayoritas pendidikan formal mendidik orang untuk mencari pekerjaan, bukan mendidik orang untuk menciptakan pekerjaan. Selepas menjalani pendidikan, orang berbondong-bondong mencari pekerjaan. Ketika tidak mendapatkan pekerjaan, orang tidak bisa menciptakan pekerjaan, sehingga menjadi pengangguran. Dengan demikian, ketika kita menjadikan ‘mencari pekerjaan’ sebagai tujuan pendidikan, sesungguhnya kita sedang dalam proses untuk membatasi potensi diri.