Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan pecinta literasi

Blog ini merupakan kelanjutan dari blog pada akun kompasiana dengan link: https://www.kompasiana.com/sulfizasangjuara 🙏❤️

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Optimalisasi Keterbukaan Informasi Publik di Sumatera Barat

10 Oktober 2022   23:49 Diperbarui: 10 Oktober 2022   23:55 650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahukah Anda? Di Abad Informasi ini, informasi publik ibarat 'tuhan' dan keterbukaan informasi publik adalah jalan menuju 'surga'. Tanpa informasi publik dari Badan Publik, kita akan sulit untuk mengaktualisasikan, mengembangkan inovasi/kreatifitas, berperan aktif dalam pembangunan nasional, dan menjalin sinergi kolektif dalam mewujudkan/mempertahankan kedaulatan bangsa. Kebutuhan kita untuk mendapatkan informasi publik merupakan hak asasi manusia (HAM) yang didukung Komisi Informasi dan dikukuhkan UU Nomor 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik.    



Urgensi Keterbukaan Informasi Publik (KIP)

Berdasarkan UU Nomor 14 tentang KIP, tujuan KIP adalah untuk menjamin hak warga negara mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Tujuan berikutnya adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan kebijakan publik. Dan, tujuan akhirnya adalah mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu penyelenggaraan yang transparan, efektif, efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.  

Sebelum dicetuskannya UU Nomor 14 tentang KIP, kebijakan publik cenderung ditentukan kalangan yang memiliki hak otoritatif dan terbatasnya kontribusi masyarakat secara langsung, sehingga jauh dari marwah demokrasi. Implikasinya, sering kali kebijakan publik tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat atau berseberangan dengan kebutuhan masyarakat. Bahkan, tidak jarang kebijakan publik, bisa disebut gagal atau kurang tepat sasaran.  


Misalnya, terdapat kebijakan publik dalam beras untuk masyarakat miskin (raskin). Kendati kebijakan publik tersebut memiliki tujuan yang mulia, ketiadaan KIP rentan menimbulkan penyelewengan seperti terdapatnya warga masyarakat dari golongan mampu (berada) yang bisa mendapatkan jatah raskin.

Di sisi lain, kurangnya informasi publik mengenai proses melahirkan, mengakibatkan masih banyak perempuan hamil yang melahirkan dengan bantuan dukun yang beresiko tinggi, sehingga angka kematian ibu melahirkan relatif sulit untuk ditekan.

Sementara itu, kurangnya informasi publik mengenai industri mengakibatkan masyarakat sulit untuk mengelola sumber daya alam Indonesia yang melimpah-ruah untuk dijadikan produk komersil dan bernilai ekonomis. Implikasinya, banyak masyarakat yang hidup miskin di tengah-tengah kelimpahan sumberdaya alam. 

Kini, setelah UU Nomor 14 tentang KIP dicetuskan, peluang masyarakat untuk penentuan kebijakan publik melalui jalan demokratis, menjadi terbuka lebar. Melalui berbagai jalur informasi, terutama media digital, informasi publik dibuka seluas-luasnya, sehingga masyarakat bisa mengakses informasi publik . Bila terdapat hambatan atau sengketa dalam upaya meraih hak untuk tahu, maka masyarakat bisa menghubungi KI sebagai agen perubahan utama penyelenggaraan KIP.        

   
Di atas segala kesempatan emas yang dihadirkan KIP, keberadaan UU Nomor 14 tentang KIP menjadikan masyarakat memiliki dasar hukum untuk berperan aktif dalam menentukan kebijakan publik. Bila kesempatan ini digunakan, maka masyarakat bisa memperoleh kebijakan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat khususnya disektor pemberdayaan.  

Sumatera Barat, Provinsi Terdepan dalam Keterbukaan Informasi Publik

Di antara berjejer provinsi di Indonesia, Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi terdepan dalam keterbukaan informasi publik (KIP) di sektor Badan Publik. Keberhasilan Sumatera Barat dalam penyelenggaraan KIP tersebut dikukuhkan penghargaan dari Komisi Informasi Pusat atas pencapaian sebagai provinsi dengan penilaian tertinggi kualifikasi informatif KIP. Pencapaian ini berarti 'salah satu belahan jiwa' KIP berupa 'kesiapan Badan Publik' telah dipenuhi Sumatera Barat.    

Bila upaya tersebut dikembangkan dengan jalan mewujudkan 'dua belahan jiwa' KIP berupa 'kesadaran publik' terhadap KIP dan 'infrastruktur' informasi publik yang akomodatif, maka 'tiga jiwa' akan tersinergi dan menyempurnakan penyelenggaraan KIP di Sumatera Barat. 

Sinergitas 'ketiga belahan jiwa' KIP berupa 'kesiapan Badan Publik, kesadaran publik, dan infrastruktur informasi publik' yang akomodatif akan menjadikan pencapaian KIP Sumatera Barat menjadi optimal. Sebagai agen perubahan utama dalam KIP di Sumatera Barat, Komisi Informasi Sumatera Barat (KI Sumbar) perlu mengembangkan inovasi dan kreatifitas untuk mewujudkannya. 



Mengoptimalkan Keterbukaan Informasi Publik di Sumatera Barat 

Sejak UU Nomor 14 tentang KIP resmi diundangkan di Jakarta pada 30 April 2008, setiap Badan Publik diwajibkan untuk membuka akses informasi publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut dengan kebutuhan masyarakat luas. Kewajibab tersebut diharapkan bisa mendorong Badan Publik untuk lebih bertanggung jawab dan bersedia memberikan pelayanan publik sebaik-baiknya.  

Sumber: IG @ki_sumbar
Sumber: IG @ki_sumbar

Di Sumatera Barat, upaya untuk mewujudkan KIP telah menjadi gerakan kolektif Badan Publik. Berkat kontribusi Komisi Informasi Sumatera Barat (KI Sumbar) sebagai agen perubahan utama dalam pelaksanaan KIP, berbagai Badan Publik berlomba-lomba untuk mewujudkan KIP, termasuk Badan Publik di kampung halaman penulis di Kabupaten Pasaman Barat.

Monitoring dan evaluasi (monev) KIP merupakan salah satu program yang diselenggarakan KI Sumbar untuk meningkatkan kualitas KIP. Pelaksanaan monev dimaksudkan untuk menilai Badan Publik dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya layanan informasi kepada masyarakat. 

Sumber: IG @ki_sumbar
Sumber: IG @ki_sumbar

Upaya ini  memanfaatkan media digital (e-monev). Melalui sistem e-monev, Badan Publik dan masyarakat luas dapat mengakses dan mengawasi proses penilaian KIP.


Selain itu, KI Sumbar secara aktif memberikan penghargaan pada Badan Publik yang berhasil mewujudkan KIP. Upaya ini sukses merangsang Badan Publik untuk berlomba-lomba dalam mewujudkan KIP.    


Sebagai 'urang awak', penulis merasa sangat bangga dengan prestasi Sumatera Barat dalam mewujudkan KIP. Keberhasilan tersebut mengindikasikan bahwa Sumatera Barat tergolong provinsi yang memiliki Badan Publik dengan integritas tinggi dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), sistem sosial-politik-pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), dan pelayanan sebaik-baiknya yang berorientasi pada kepuasan masyarakat.

Namun, bila dicermati, prestasi KIP di Sumatera Barat tersebut cenderung masih terfokus pada kesiapan Badan Publik. Prestasi tersebut belum tersinergi dengan prestasi KIP di sektor kesadaran publik dan pengadaan infrastruktur KIP yang akomodatif. Agar kemajuan KIP cenderung optimal pada kawasan pusat pembangunan konvensional, seperti perkotaan.

Lebih jauh lagi, di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan pembangunan konvensional, sebagaimana kawasan penulis bermukim sekarang, keberadaan KIP cenderung tidak optimal, sehingga partisipasi masyarakat dalam KIP bisa disebut sangat terbatas.  

Di samping itu, infrastruktur informasi publik di kawasan yang jauh dari jangkauan pembangunan konvensional, seperti perangkat teknologi digital, relatif masih masih terbatas pula. Akibatnya partisipasi masyarakat di kawasan daerah (pelosok) dalam KIP semakin jauh dari spektrum optimal.

Terdapat strategi penting untuk mengoptimalkan KIP, antara lain:

Pertama, edukasi sadar KIP

Masyarakat perlu mendapatkan persiapan dalam mengadopsi KIP. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan jalan edukasi. 

Edukasi dapat berbentuk pelatihan yang diadakan KI Sumbar bagi anggota masyarakat dalam mengadopsi KIP. Upaya edukasi dapat pula berkolaborasi Badan Publik yang memiliki posisi strategis seperti lembaga pendidikan. Melalui kolaborasi dengan lembaga pendidikan, upaya untuk transfer wacana KIP bisa dilangsungkan secara masif.        

Kedua, meningkatkan sense of interest KIP

Sentuhan sense of interest (minat) merupakan faktor penting yang memicu masyarakat (individu) dalam mengadopsi inovasi. Semakin besar intensitas sense of interest yang terkadung dalam sebuah inovasi, maka semakin kuat pula dorongan pikiran bawah sadar untuk menerima inovasi tersebut.      

Salah satu langkah penting dalam optimalisasi KIP dalam menciptakan sense of interest adalah menciptakan program unggulan yang terkait dengan kebutuhan masyarakat paling besar. Program unggulan tersebut harus menjadi kebutuhan kolektif masyarakat. Agar masyarakat tertarik untuk turut berkontribusi dan berpartisipasi aktif dalam melenjitkan kualitas pelaksanaan KIP.    

Kemandirian ekonomi layak menjadi salah satu fokus sense of interest dalam pelaksanaan KIP. Hal ini disebabkan sektor kemandirian ekonomi merupakan episentrum kehidupan dan masih belum bisa dicapai oleh sebagian besar masyarakat Sumatera Barat. Tidak sedikit masyarakat yang masih belum berhasil mewujudkan kebebasan finansial sehingga terdapat obsesi untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dalam pikiran bawah sadarnya.

KI Sumbar dapat mengemas KIP dengan menggunakan citra kemandirian ekonomi. Misalnya, KI Sumbar dapat mengupayakan iklan layanan publik KIP yang mengangkat isu kemandirian ekonomi dengan pemanfaatan KIP. 

Dalam iklan layanan masyarakat tersebut dimunculkan tokoh yang berhasil mewujudkan kemandirian ekonomi dengan pemanfaatan KIP, seperti tokoh enterpreneur atau praktisi UMKM.

Upaya tersebut akan memicu sense of interest dalam diri masyarakat sehingga terpicu untuk mengadopsi KIP sebagai bagian dari kesadaran kolektif dan terpicu pula untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskanya.      

Ketiga, pemberdayaan Komisi Informasi

Masyarakat merupakan komunitas sosial yang multidimensi. Setiap individu memiliki keberagaman kesadaran. Kesadaran tersebut dibentuk wawasan atau ilmu pengetahuan, tradisi atau sistem nilai yang berlaku di lingkungan tempatnya berada, hingga pengalaman-pengalaman traumatis.  

Oleh sebab itu, KI Sumbar sebagai agen perubahan utama dalam KIP khususnya di Sumatera Barat, perlu terus melakukan pemberdayaan, baik secara kolektif ataupun individu. KI Sumbar perlu mengembangkan wawasan dan keahlian di bidang ilmu-ilmu manusia seperti psikologi, sosiologi, komunikasi, dan antropologi. Agar praktisi KI Sumbar bisa lebih efektif dalam transfer KIP sebagai bagian dari kesadaran kolektif masyarakat.      

Keempat, pemilihan influencer atau duta KIP

Kita sadari atau tidak, sebuah inovasi membutuhkan tokoh yang secara aktif melakukan sosialisasi untuk mendorong masyarakat dalam mengadosinya. Tokoh tersebut lazim disebut duta atau influencer di ranah digital.  

KIP bisa menjalin kolaborasi dengan figur publik dalam sosialisasi urgensi KIP. Figur publik tersebut bisa menjadi duta atau sekaligus berperan sebagai influencer dalam sosialisasi KIP. Sosialisasi KIP akan lebih efektif karena daya tarik yang dipancarkan figur publik tersebut.

Di samping itu, KIP juga bisa menyelenggarakan pemilihan duta atau influencer KIP dari kalangan generasi muda. Sosok yang dipilih sebagai duta atau influencer perlu menjalani seleksi tertentu untuk menguji wawasan dan kemampuan komunikasi KIP, serta keahlian dalam menggunakan media digital. Dengan jalan ini, wawasan KIP bisa disebarkan secara masif dan mudah diadopsi masyarakat terutama kalangan generasi muda.            

Kelima, komunikasi lintas budaya

KIP merupakan sebuah produk budaya di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang multibudaya. Proses penerimaan KIP sebagai budaya kolektif tidak akan mudah. Perlu adanya komunikasi lintas budaya untuk mentransfer KIP ke dalam kesadaran kolektif masyarakat dan diterima sebagai budaya kolektif.

Salah satu mekanisme komunikasi lintas budaya terebut dapat ditempuh dengan pelibatan tokoh masyarakat khususnya pemangku adat (penghulu adat). Misalnya, di Sumatera Barat, KI Sumbar bisa menjalin kerjasama dengan tungku tigo sajarangan dalam upaya transfer KIP ke dalam kesadaran kolektif masyarakat Sumatera Barat khususnya masyarakat tradisional Minang.

Dalam masyarakat tradisional Minang 'tungku tigo sajarangan' merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan formasi pemangku adat utama dalam tradisi Minangkabau terdiri atas: ninik mamak (penghulu), alim ulama (Imam, Khatib, bilal, Khadi), dan cerdik pandai (filsuf). Representasi dari adat, agama, dan kebijaksanaan.

Sumber:radiotemansejati.com
Sumber:radiotemansejati.com
Selain tungku tigo sajarangan terdapat pula Bundo Kanduang atau Induk dalam sebuah kaum. Lalu, terdapat pula sosok 'mamak' (paman dari garis keturunan ibu) yang efektif dijadikan sebagai penyambung lidah KI Sumbar dalam transfer KIP ke dalam masyarakat tradisional Minang di Sumatera Barat.    


Pelibatan 'tungku tigo sajarangan' beserta 'mamak' dan Bundo Kanduang; akan menjadikan transfer KIP ke dalam budaya lokal Sumatera Barat menjadi semakin efektif. 

Demikian pula strategi komunikasi lintas budaya pada etnis lain, yaitu sebaiknya bekerja sama dengan pemangku adat atau tokoh masyarakat yang memiliki posisi strategis dalam sistem sosial budaya. Agar KIP bisa diterima sebagai bagian dari budaya kolektif masyarakat yang multibudaya.    

Keenam, pengembangan literasi KIP

Keberadaan literasi merupakan indikator dari kemajuan peradaban dan representasi kesadaran kolektif. Belum optimalnya KIP mengindikasikan bahwa literasi KIP belum berkembang dalam masyarakat.

Literasi KIP bisa berbentuk dokumen otentik seperti buku, video/rekaman tutorial yang bisa diakses masyarakat, dan berbagai media yang menjadikan bahasa sebagai medium komunikasi. Bahasa bisa berbentuk bunyi dan teks.

Perlu adanya upaya untuk memperkaya khazanah literasi dengan materi KIP. Agar lebih efektif, bahasa dalam literasi KIP bisa dibentuk dalam keberagaman budaya. Misalnya, literasi KIP dapat dituturkan dengan menggunakan bahasa Minang untuk masyarakat tradisional Minang atau bahasa daerah Jawa untuk masyarakat tradisional Jawa. Dengan demikian, KIP bisa ditransfer ke dalam ranah yang lebih luas dan diadopsi masyarakat yang majemuk.        

Ketujuh, pemerataan infrastruktur KIP

Dewasa ini, media digital merupakan infrastruktur yang menjadi syarat penting dalam mewujudkan KIP. Tanpa media digital yang akomodatif, upaya untuk mewujudkan KIP akan sangat sulit untuk menjangkau masyarakat yang bermukim di kawasan yang miskin infrastruktur informasi publik .

Padahal, Badan Publik yang mengadakan infrastruktur yang membangun media digital secara masif, cenderung masih terbatas karena hambatan komersialisasi. Persebaran media digital cenderung terbatas di daerah yang menjadi episentrum pembangunan konvensional seperti kawasan kota yang dinilai komersil, seperti kawasan perkotaan.

Di sisi lain, daerah yang berada di luar episentrum pembangunan konvensional seperti perdesaan atau pedalaman, rentan dinilai kurang komersil. Implikasinya, pengadaan infrastruktur yang merata akan sulit untuk diwujudkan.    

Untuk mengatasi hambatan pemerataan infrastruktur informasi publik tersebut, KI Sumbar perlu menjalin kolaborasi dengan seluruh Badan Publik dalam penyediaan media digital. Misalnya, sekolah dan kantor-kantor perusahaan. Badan publik tersebut diharapkan untuk memberikan ruang dan kesempatan dengan syarat yang ditentukan untuk membantu masyarakat dalam mendapatkan hak untuk tahu dalam ranah KIP.

Badan publik yang memberikan fasilitas tersebut tidak harus badan publik yang memiliki kepentingan dengan masyarakat yang mendapat layanan akses tersebut. Misalnya, sekolah yang dilengkapi fasilitas media digital, khususnya komputer dan internet, dapat memberikan izin bagi anggota masyarakat yang membutuhkan informasi publik di Badan Publik lain seperti kantor DPR, kepolisian, hingga badan publik di Ibu Kota.

Melalui upaya tersebut, hambatan KIP yang timbul karena belum adanya pemerataan infrastruktur media digital, bisa dikurangi dan meningkatkan partisipasi publik dalam pemanfaatan KIP.  

Dapat kita simpulkan bahwa Sumatera Barat telah berhasil mewujudkan KIP disektor kesiapan Badan Publik. Upaya tersebut belum optimal. Sebab, keberhasilan KIP merupakan sinergi antara kesiapan Badan Publik, kesadaran publik, dan infrastruktur informasi publik.

Sebagai agen perubahan utama dalam KIP di Sumatera Barat, KI Sumbar perlu menjalin kolaborasi lintas sektoral. Agar penyenggaraan KIP bisa lebih optimal dan menjadi teladan penyelenggaraan KIP bagi daerah lain di Indonesia.

Sumber: IG @ki_sumbar
Sumber: IG @ki_sumbar

Pada akhirnya, penyelenggaraan KIP di Sumatera Barat tidak hanya terdepan di sektor kesiapan Badan Publik, tetapi juga terdepan di sektor kesadaran publik dan infrastruktur informasi publik. Dengan demikian, fungsi KIP tidak sekadar regulasi dalam ranah Badan Publik semata; melainkan bisa menjadi katalisator upaya mewujudkan slogan pembangunan bangkit lebih kuat menuju Sumatera Barat yang madani, unggul, dan berkelanjutan.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun