Mata Aida terbelalak. Mulanya, ia seolah tak percaya. Tapi, ketika menatap foto lelaki bertato kupu-kupu di lehernya itu, Aida kembali menguasai emosi.
"Baiklah," tutur Aida. "Tapi, kau punya telepon Adam, bukan?"
Amelia meraih ponselnya dan mengirim nomor Adam ke ponsel Aida. Lalu berusaha melupakan Adam dari pikirannya.
"Jika mereka gagal, itu bukan salahku," bisik Amelia dalam hati. "Aku sudah berusaha mencegahnya."
Keesokan hari dan hari-hari berikutnya, Aida telah kembali bekerja dengan penuh semangat. Matanya seolah memantulkan sinar matahari. Derai tawanya menghangatkan kantor.
Bu Deviana selalu memuji hasil pekerjaan Aida. Tulisannya menarik dan selalu diserahkan jauh sebelum deadline.
"Benar kan," ujar Bu Deviana setelah jam kantor tutup. Dari balik pintu kaca, terlihat Adam dan Aida. Mereka melangkah sambil bergandengan tangan dan menyetop angkot. "Jatuh cinta adalah obat patah hati. Dan, Aida telah menemukan obat yang tepat.”
"Itu tidak akan berlangsung lama," bisik Amelia pesimis setiap menatap pasangan itu menjauh. Tapi, Bu Deviana tidak mengacuhkannya.
Dua bulan kemudian, tepat di hari ulang tahun Aida, Amelia tidak menjumpai Aida di meja kerjanya. Ia merasa, dugaannya bahwa Aida patah hati untuk kedua kali dan Adam untuk ke-1000 kali, segera menjadi kenyataan.
Menjelang pukul sembilan pagi, lengkingan suara Lulu memecah kantor. "Ternyata, suami Aida adalah pengusaha kaya yang sengaja menyamar untuk memukan cinta sejati!" teriak Lulu seperti kesetanan sambil melempar puluhan eksemplar surat kabar ternama ke seluruh meja.
Amelia nyaris pingsan. Ia menjerit-jerit histeris. Kuku-kukunya yang runcing dan berkutek merah, mencengkram halaman pertama.