Judul: Gelap-Terang Hidup Kartini
Penulis : Tim Tempo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Bulan/Tahun Terbit: April, 2017
Cetakan: Pertama
Tebal: xii + 157 halaman
Harga buku: Rp 60.000
ISBN: 978-602-424-349-4
Penyunting: Leila S. Chudori
Gelap Terang Hidup Kartini (GTHK) adalah buku yang berani! Berkisah tentang kehidupan Kartini yang sarat dengan perjuangan emansipasi. Membaca GTHK akan meneguhkan eksistensi Kartini di hati kita sebagai salah seorang Guru Bangsa yang menginspirasi sepanjang masa.
Tokoh Emansipasi yang Cinta Membaca dan Menulis
Kartini lahir pada 21 April 1879 dengan nama Raden Adjeng Kartini dan dikenal sebagai tokoh emansipasi. Ia merupakan putri Bupati Jepara, RMA A Sosroningrat dan Ngasirah. Sejak kecil, Kartini memperlihatkan kecerdasan intelektual dan kerendahan hati yang memikat.
Tidak hanya pada masa remaja dan dewasa, tetapi sejak kecil ia telah bersikap kritis dan memberontak tirani feodalisme yang menjajah perempuan; melalui jalan bergaul dengan seluruh kalangan masyarakat, cerewet, tertawa terbahak-bahak, sehingga dipanggil Trinil dan dijuluki kore (kuda liar).
Sebagaimana perempuan pada masa kehidupannya, Kartini dihambat untuk menempuh pendidikan tinggi. Sejak usia 12 tahun, ia terpaksa menjalani pingitan atas nama adat. Kendati tidak berpendidikan tinggi, Kartini terus belajar secara mandiri, sehingga daya intelektualitas dan keahliannya terus berkembang pesat. Ia mempelajari dunia dengan jalan membaca buku-buku yang dipinjamkan kakaknya, Sosrokartono.
Selain itu, ia memanfaatkan kotak bacaan langganan ayahnya yang berisi buku, koran, dan majalah dari dalam dan luar negeri. Literatur yang dibaca Kartini meliputi kajian sosial, politik, budaya, dan sastra. Kecintaannya pada membaca membentangkan sayap-sayap imajinasinya dan memperluas cakrawala pemikirannya.
Selain membaca, Kartini juga gemar menulis. Pesona intelektualitas Kartini dalam tulisan, tercermin dalam surat-surat untuk sahabat pena yang sebagian besar perempuan berjiwa progresif dan bermukim di luar negeri. Melalui surat-surat tersebut, Kartini menyampaikan pendapatnya dan berdiskusi dengan para sahabat pena tersebut.
Sebagian surat-surat tersebut, setelah kematiannya, dikumpulkan dan diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Dalam Door Duisternis tot Licht mendokumentasikan pemikiran dan renungan filosofis Kartini yang mencakup kesetaraan gender, budaya, bahaya feodalisme, dan hubungan antarbangsa.
Selain surat-surat, pesona inteletualitas Kartini dalam tulisan, bersinar pula di media dan jurnal berbahasa Belanda. Tulisan-tulisan tersebut kaya dengan perenungan dan riset antropologis. Mulai dari tata cara perkawinan sampai seni batik. Konon untuk alasan keamanan, tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan tanpa mencantumkan nama Kartini.
Cinta membaca dan menulis menuntun Kartini mengasah kecerdasan intelektual dan keahlian berkomunikasi; sehingga di usia muda ia telah tumbuh menjadi ilmuwan yang bijaksana dan berdedikasi tinggi dalam karya kemanusiaan.
Di tengah kepungan tirani feodalisme dan penjajahan kolonialisme Belanda, ia menjadi seorang Guru Bangsa yang bertekad membangkitkan emansipasi, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Ironisnya, represi feodalisme dan kolonialisme yang sistemik; memaksa Kartini untuk memilih tindakan-tindakan kontroversi dan rentan dinilai berlawanan dengan visi emansipasi. Tidak heran dalam buku GTHK, Kartini dinilai sebagai sosok yang penuh kontradiksi: ia cerdas sekaligus lemah hati (hal. 1).
Kontroversi Kartini
Kontroversi Kartini menjadi sorotan penting dalam buku GTHK. Melalui tulisan-tulisannya kental feminisme dan emansipasi, Kartini memberontak tirani feodalisme yang menjajah perempuan. Melalui upayanya dalam mendirikan sekolah khusus perempuan dan mengembangkan industri kerajinan rakyat Jepara, Kartini meneguhkan kekuatan intelektulitas dan kedaulatan ekonomi sebagai basis emansipasi.
Namun realitasnya, Kartini sepanjang hidupnya tidak bisa membebaskan diri dari sistem feodalisme. Bahkan, ia pun menjadi korban dalam tradisi poligami yang diperanginya dan dinilainya sebagai tradisi yang merugikan perempuan.
Kontroversi semakin meruncing dalam penetapan gelar pahlawan yang disandang Kartini. Sementara para pahlawan lainnya menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial atau gugur dalam perang menentang pendudukan bangsa kolonial, Kartini menjalin hubungan yang mesra dengan pemerintah kolonial, yaitu pemerintah kolonial Belanda.
Kartini tidak hanya mendapat dukungan dalam pendirian sekolah perempuan, tetapi pemerintah kolonial Belanda menjadi kolega bisnis Kartini dalam mengembangkan industri kerajinan rakyat Jepara. Kartini juga memiliki harapan besar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan yang dijanjikan pemerintah kolonial Belanda untuk bersekolah di Belanda.
Tanpa kontribusi pejabat pemerintah kolonial Belanda pula, terutama Nyonya Abendanon (Rosa Abendanon), kumpulan surat Kartini berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang turut melambungkan nama Kartini, tidak akan lahir ke dunia. Tidak heran bila sejarawan Harsja W. Bachtiar menilai Kartini tidak lebih dari pahlawan yang dibesarkan Belanda (hal. viiii).
Misteri Kartini
Kelemahan GTHK terlihat dari penilaian terhadap kontroversi Kartini yang cenderung perulangan atau repetisi ilmuwan/praktisi yang cenderung mengulang penilaian ilmuwan/praktisi dalam literatur biografi Kartini yang telah muncul/terbit sebelumnya.
Di mana penilaian tersebut masih menempatkan Kartini sebagai pahlawan yang dibesarkan Belanda. Secara psikolinguistik, pendapat atau penilaian tersebut merendahkan kontribusi Kartini dan menurunkan minat bangsa dalam meneladani Kartini.
Kita sebaiknya menyikapi kontroversi Kartini dengan bijaksana. Kita harus menyadari bahwa sebagai manusia, Kartini tidak lepas dari keterbatasan dan kompleksitas psikologis, sehingga mustahil untuk memenuhi seluruh ekspekstasi idealis orang lain.
Ahli sejarah boleh saja meragukan eksistensi Kartini sebagai pahlawan berdasarkan riset yang dipertanggungjawabkan di ruang akademis; tetapi tetap saja tidak akan pernah bisa menjangkau realitas empiris yang dialami Kartini secara pribadi. Apalagi, banyak kemungkinan yang masih misteri dalam kehidupan Kartini.
Tidak menutup kemungkinan, Kartini rela menjadi korban poligami sebagai siasat. Hal ini disebabkan Kartini memiliki modal sosial dan otoritas yang jauh lebih besar ketika menjadi istri keempat Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat; daripada ketika dibandingan modal sosial dan otoritas yang dimilikinya ketika menjadi putri Bupati Jepara, RMA A Sosroningrat.
Dengan demikian, pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat, dimaksudkan untuk membuatnya bisa memperluas sayap perjuangan emansipasi. Bila Kartini menolak lamaran Bupati Rembang tersebut, kemungkinan besar dirinya akan mendapatkan konsekwensi berupa diskriminasi dan hukuman adat yang akan menjauhkan dirinya dari emansipasi yang dicita-citakannya.
Tidak menutup kemungkinan pula, hubungan mesra yang dijalin Kartini dengan pemerintah kolonial Belanda, berupa siasat pula. Hubungan mesra itu timbul karena Kartini mengetahui bahaya pemerintah kolonial Belanda karena membaca buku Max Havelaar karya Multatuli.
Pada salah satu surat pada tanggal 6 November 1899 yang terdokumentasikan dalam Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang), Kartini mengakui pada salah seorang sahabat penanya yang akrab dipanggil Stella, bahwa dirinya memiliki Max Havelaar dan mencintai Multatuli. Buku tersebut sangat berbahaya dan mengguncang bangsa Belanda karena mengungkap kejahatan penjajahan kolonial Belanda di Lebak, Banten.
Berkat buku tersebut, Kartini mengetahui kekuatan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda yang sangat besar dalam menjajah dan menghancurkan. Kartini menyadari bahwa perlawanan terang-terangan terhadap pemerintah kolonial Belanda akan menimbulkan bahaya besar.
Upaya yang tepat untuk mewujudkan kemerdekaan adalah memerdekakan pemikiran dengan ilmu pengetahuan (pendidikan) dan upaya memiliki keahlian/keterampilan untuk mewujudkan kedaulatan ekonomi. Agar penjajahan bisa dilumpuhkan tanpa menjatuhkan banyak korban dan kerugian besar, sebagaimana Mahatma Gandhi dalam memimpin rakyat India melumpuhkan penjajahan kolonial Inggris.
GTHK, Buku yang Wajib Dibaca!
Sebelum berwujud buku saku dengan kemasan yang cantik, GTHK pernah tersiar sebagai liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo April 2013. Wartawan yang tergabung dalam Tim Tempo telah bekerja keras dalam menelusuri jejak Kartini pada konteks kekinian. Tidak sekadar melakukan investigasi jurnalistik, Tim Tempo juga melakukan berbagai riset mutakhir dan wawancara dengan tokoh-tokoh yang mumpuni di bidang kajian Kartini.
Berkat kontribusi Leila S. Chudori (Leila Salikha Chudori) yang sangat besar dalam penyuntingan, kepingan-kepingan tulisan hasil liputan Tim Tempo tersebut dapat disusun menjadi sebuah buku yang menarik, menggelitik, dan sesuai dengan spirit kekinian.
Sebagai penyunting, reputasi Leila S. Chudori tidak diragukan lagi. Ia adalah wartawati Tempo sekaligus sastrawati ternama di Indonesia dan memiliki tempat di hati dunia internasional. Reputasi Leila yang direpresentasikan karya dan prestasi meneguhkan bahwa GTHK yng disuntingnya sebagai buku penting dalam galaksi literasi di Indonesia.
Keunggulan GTH terlihat dari banyak informasi baru yang sulit kita temukan dalam literatur Kartini yang telah hadir sebelumnya. Misalnya, melalui GTHK, kita akan mengetahui Kartini merupakan penulis perempuan pertama Indonesia yang karyanya dimuat dalam jurnal antropologi berbahasa Belanda; pencipta macan kurung dalam motif ukir Jepara; dan masih banyak informasi baru lainnya.
Selain itu, GTHK ditulis Tim Tempo dengan penggunaan teknik jurnalisme sastrawi dengan bahasa yang segar, dan kritis tanpa terkesan menggurui; sehingga mudah dibaca dan dipahami. GTHK semakin memikat dengan kehadiran dokumentasi foto langka Kartini, ilustrasi yang manis, dan info grafis yang menarik. Kemasan yang cantik membuat GTHK semakin memukau.
Keunggulan-keunggulan tersebut menempatkan GTHK sebagai literatur Kartini yang menghadirkan kebaruan, baik fisik maupun isi, serta sesuai dengan spirit kekinian. Dengan demikian, GTHK merupakan buku yang wajib dibaca seluruh generasi bangsa Indonesia
Menginspirasi Sepanjang Masa
Berdasarkan GTHK dapat kita simpulkan bahwa terlepas dari kontroversi kehidupannya, Kartini merupakan Guru Bangsa yang penuh dedikasi dan inspirasi. Nilai-nilai kehidupan yang diajarkannya relevan dan berlaku sepanjang masa. Emansipasi yang diperjuangkan Kartini bersifat universal dan tidak terbatas pada gender tertentu; sehingga kaum lelaki pun bisa bergerak dan turut serta memperjuangkan emansipasi. Terdapat sepuluh prinsip emansipasi yang diajarkan Kartini melalui sikap dan tindakannya, antara lain:
1. Berani keluar dari zona aman.
2. Menguasai berbagai bahasa.
3. Memiliki jiwa entrepreneur.
4.Aktif mengembangkan kecerdasan intelektual dan kemampuan komunikasi dengan jalan menulis dan banyak membaca.
5. Kreatif, inovatif, dan terus belajar ilmu pengetahuan/keahlian baru.
6. Menghormati orang lain sebagaimana kita ingin dihormati (kesetaraan).
7. Mengembangkankan potensi lokal untuk membangun kemandirian dan kedaulatan ekonomi.
8. Sederhana, bersahaja, dan rendah hati.
9. Aktif memberdayakan diri dan masyarakat.
10. Jadilah orang yang berilmu (ilmuwan) dan mengajarkan ilmu yang dimiliki pada orang lain orang lain (guru).
Mari kita adopsi prinsip emansipasi yang diajarkan Kartini sebagai bagian dari konsep diri (self-concept) dan karakter bangsa Indonesia. Mari kita teruskan spirit emansipasi yang telah dirintis Kartini untuk mengisi kemerdekaan Indonesia dan memajukan peradaban dunia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H