Cinta membaca dan menulis menuntun Kartini mengasah kecerdasan intelektual dan keahlian berkomunikasi; sehingga di usia muda ia telah tumbuh menjadi ilmuwan yang bijaksana dan berdedikasi tinggi dalam karya kemanusiaan.
Di tengah kepungan tirani feodalisme dan penjajahan kolonialisme Belanda, ia menjadi seorang Guru Bangsa yang bertekad membangkitkan emansipasi, terutama untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Ironisnya, represi feodalisme dan kolonialisme yang sistemik; memaksa Kartini untuk memilih tindakan-tindakan kontroversi dan rentan dinilai berlawanan dengan visi emansipasi. Tidak heran dalam buku GTHK, Kartini dinilai sebagai sosok yang penuh kontradiksi: ia cerdas sekaligus lemah hati (hal. 1).
Kontroversi Kartini
Kontroversi Kartini menjadi sorotan penting dalam buku GTHK. Melalui tulisan-tulisannya kental feminisme dan emansipasi, Kartini memberontak tirani feodalisme yang menjajah perempuan. Melalui upayanya dalam mendirikan sekolah khusus perempuan dan mengembangkan industri kerajinan rakyat Jepara, Kartini meneguhkan kekuatan intelektulitas dan kedaulatan ekonomi sebagai basis emansipasi.
Namun realitasnya, Kartini sepanjang hidupnya tidak bisa membebaskan diri dari sistem feodalisme. Bahkan, ia pun menjadi korban dalam tradisi poligami yang diperanginya dan dinilainya sebagai tradisi yang merugikan perempuan.
Kontroversi semakin meruncing dalam penetapan gelar pahlawan yang disandang Kartini. Sementara para pahlawan lainnya menolak kerjasama dengan pemerintah kolonial atau gugur dalam perang menentang pendudukan bangsa kolonial, Kartini menjalin hubungan yang mesra dengan pemerintah kolonial, yaitu pemerintah kolonial Belanda.
Kartini tidak hanya mendapat dukungan dalam pendirian sekolah perempuan, tetapi pemerintah kolonial Belanda menjadi kolega bisnis Kartini dalam mengembangkan industri kerajinan rakyat Jepara. Kartini juga memiliki harapan besar untuk mendapatkan beasiswa pendidikan yang dijanjikan pemerintah kolonial Belanda untuk bersekolah di Belanda.
Tanpa kontribusi pejabat pemerintah kolonial Belanda pula, terutama Nyonya Abendanon (Rosa Abendanon), kumpulan surat Kartini berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang turut melambungkan nama Kartini, tidak akan lahir ke dunia. Tidak heran bila sejarawan Harsja W. Bachtiar menilai Kartini tidak lebih dari pahlawan yang dibesarkan Belanda (hal. viiii).
Misteri Kartini
Kelemahan GTHK terlihat dari penilaian terhadap kontroversi Kartini yang cenderung perulangan atau repetisi ilmuwan/praktisi yang cenderung mengulang penilaian ilmuwan/praktisi dalam literatur biografi Kartini yang telah muncul/terbit sebelumnya.
Di mana penilaian tersebut masih menempatkan Kartini sebagai pahlawan yang dibesarkan Belanda. Secara psikolinguistik, pendapat atau penilaian tersebut merendahkan kontribusi Kartini dan menurunkan minat bangsa dalam meneladani Kartini.