"Sek, ibuk mau istirahat dulu. Pegel pinggang e," ujarnya sembari tersenyum licik, meninggalkanku seorang diri didapur.
Aku pun hanya bisa pasrah dengan raut wajah yang absurd kemudian lengkungan sabit itu tercipta. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari terkekeh mengingat kelakuannya.
Seketika air mata ini kembali menetes haru, tangan halus yang mulai keriput, rambut hitam yang mulai memutih. Mengingatkanku akan berjalannya waktu yang begitu cepat. Dan diusiaku yang ingin menginjak 20 tahun ini, aku masih saja belum bisa memberikan yang terbaik untuk membalas semua jasa-jasa dan segala pengorbanannya untuk diriku.
Yang bisa aku lakukan hanyalah sebagian kecil dari sebagian besar waktunya untuk merawat dan mengurusku hingga aku sampai pada detik ini.
Bagiku, Ibu adalah bidadari tak bersayap yang selalu murni akan kasih sayangnya.
Bentakan, teguran yang ia lontarkan kepadaku adalah sebagian dari rasa kasihnya kepada seorang anak yang begitu dicintainya.Â
Namun sayangnya, dulu aku tak begitu menyadarinya. Aku terkadang mengabaikan tegurannya, nasehatnya, bahkan bentakannya saat egoku kekeuh bahwa aku tak bersalah.
Dan seiring waktu berlalu, mengingat diriku yang berjalan menuju tangga kedewasaan. Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT memberikanku sebuah tamparan yang begitu menyakitkan melalu kepingan-kepingan memori tajam, yang kemudian membuat diriku tersadar akan kesalahan besar yang aku perbuat.
Manusia itu tiada sempurna memang, namun introspeksi diri untuk menjadi manusia yang lebih baik adalah salah satu hal yang sangat perlu. Dan aku sedang berusaha berjalan menuju hal baik itu.
"Sudah jadi belum Amma?" teriak ibu dari ruang tengah, membuyarkan pikiranku yang sedang berkelana.
"Sampun buk, tinggal diangkat aja."Â