Semenjak merebaknya Covid-19 pada pertengahan Maret 2020 lalu di Indonesia, virus ini menjadi teror dan momok bagi masyarakat. Berbagai aktivitas keseharian dan denyut ekonomi lumpuh. Ihwal ini diperparah dengan akselerasi informasi seputar Covid-19 di berbagai saluran informasi seperti media sosial yang tidak valid.Â
Informasi yang beredar luas  seputar virus mematikan ini bias. Riuh rendahnya perbincangan atas penyebaran Covid-19 di ruang publik begitu masif. Tidak sedikit publik (baca: netizen) di media sosial begitu mudah  percaya dengan tautan informasi hoax yang mana sumbernya tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Media  mainstream atau media  arus utama  idealnya  menjadi "juru selamat" atas pemberitaan menyimpang dan tidak mendidik  bagi publik. Hal ini menjadi kewajiban  moril dan fungsi sebuah media.  Namun, hal tersebut bukanlah perkara mudah. Media mainstream nampaknya  tidak bisa membendung semua informasi  hoak di media sosial.Â
Parahnya lagi masyarakat lebih memercayai informasi dari media sosial daripada media arus utama. Tentu hal ini diperkeruh dengan hadirnya  media daring aba-abal  berformat clickbait yang  berseliweran di media sosial.Â
Jurnalisme clickbait, saat ini menjadi tren sekaligus  strategi bagi pengelola new media untuk mengejar rating sekaligus menggugah naluri rasa ingin tahu  pembaca agar berlomba-lomba mengakses pemberitaan online dengan judul berita yang emosional, bombastis dan memantik empati. Tujuannya tidak lain untuk merengkuh iklan dan keuntungan sebesar-besarnya.      Â
Covid -19 menjadi tantangan terbesar media mainstream untuk memberikan informasi sehat bukan menyesatkan publik.  Media arus utama belum bisa menahan laju informasi keliru dan bohong tentang virus Corona  yang kian  berkembang dan berbanding  berbanding lurus dengan masifnya pemberitaannya. Hal inilah yang dikenal dengan istilah infodemic.Â
Laporan Kompas.id memberikan gambaran  terkait infodemic Covid-19. Ada ratusan korban meninggal dunia karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati Covid-19 di berbagai Negara.Â
Setidaknya 800 orang meninggal di seluruh dunia karena kesalahan informasi terkait Covid-19 dalam tiga bulan pertama tahun ini. Banyak korban meninggal karena mengikuti anjuran keliru untuk mengobati penyakit yang disebabkan virus korona baru ini. Indonesia menempati peringkat paling banyak menyebarkan informasi keliru ini.
Hasil kajian ini ditulis Md Saiful Islam dari Program for Emerging Infections, Infectious Diseases Division, Bangladesh, dan para peneliti lain dari sejumlah negara di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi 10 Agustus 2020 yang dikutip kompas.id Kajian tersebut mengulas, selain 800 korban meninggal, tim peneliti ini menemukan sekitar 5.800 orang dirawat di rumah sakit akibat informasi palsu tentang penyembuhan Covid-19 di media sosial.Â
Pengamatan penulis, mengidentifikasi 2.311 infodemik atau informasi keliru terkait Covid-19 dalam 25 bahasa dari 87 negara dalam periode 21 Januari hingga 5 April 2020. Dari jumlah tersebut, 2.049 atau 89 persen laporan diklasifikasikan sebagai rumor, 182 atau 7,8 persen adalah teori konspirasi, dan 82 atau 3,5 persen adalah stigma. Dalam kajian tersebut bias ditarik kesimpulan bahwa infodemik mendominasi informasi pemberitaan palsu tentang serba-serbi Covid-19.
Di antara semua kategori informasi yang dilacak, 24 persen terkait penyakit, penularan, dan kematian. Sebanyak 21 persen terkait intervensi, 19 persen untuk pengobatan dan penyembuhan,15 persen untuk penyebab penyakit termasuk asalnya, 1 persen terkait kekerasan, dan 20 persen untuk lain-lain. Dari 2.276 informasi yang ditemukan, 1.856 atau 82 persen merupakan klaim salah, 204 atau 9 persen berbasis bukti, 176 atau 8 persen menyesatkan, dan 31 atau 1 persen tidak terbukti. Sebagian besar rumor, stigma, dan teori konspirasi secara berurutan berasal dari India, Amerika Serikat, China, Spanyol, Indonesia, dan Brasil.Â
Di antara klaim keliru yang paling populer yakni konsumsi alkohol dengan konsentrasi tinggi bisa mendisinfeksi tubuh dan membunuh virus. Contoh lain informasi keliru meliputi antara lain makan bawang putih berjumlah besar atau mengonsumsi vitamin berjumlah besar. Bahkan, ada yang minum air seni sapi. Meski menempatkan Indonesia dalam urutan keempat negara paling banyak terdapat infodemik terkait Covid-19, laporan ini tidak memerinci secara spesifik. Penelusuruan Kompas dari pemberitaan di sejumlah media dan media sosial, terdapat laporan kematian akibat mengonsumsi disinfektan. Misalnya, satu remaja di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan meninggal dan dua lainnya sakit setelah mengonsumsi oplosan minuman energi dengan disinfektan.
Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman menjelaskan, info keliru terkait pandemi ini menjadi persoalan global, termasuk di Indonesia. "Untuk mengatasinya, literasi publik perli ditingkatkan, selain itu pemerintah harus merespons dengan komunikasi risiko yang akurat dan cepat," katanya dikutip dari kompas.id. Dicky mencontohkan, mereka yang menyatakan Covid-19 sebagai rekayasa dan mengajak orang tidak memakai masker misalnya, harusnya mendapat sanksi. Termasuk halnya, mereka yang mengajak menolak vaksin, bisa dianggap mempersulit penanganan wabah.Â
"Seperti virus, jika infodemi ini dibiarkan akan makin merusak dan mempersulit penanganan wabah," tuturnya. Â Nasi sudah jadi bubur. Informasi bohong yang dibalut dengan fakta dan data yang seolah akurat tidak bisa lagi ditarik. Infodemik sudah menjadi konsumsi pemberitan di tengah rendahnya literasi informasi publik. Â
Tentu, derasnya arus informasi dan pesan berantai melalui pesan instan seperti WhatsApp (WA) harus disikapi dengan gerakan literasi public yang intensif, edukatif, konsisten, kolaboratif  dan massif.  Harapan besar sesungguhnya ada pada media mainstream, baik berformat konvensional maupun digital.  Karena media yang mengembangkan jurnalisme profesional yang serius memiliki visi dan roh informasi yang akurat, kredibel, bertanggungjawab, menggerakkan  dan humanis.
Media massa arus utama menghadapi tantangan yang berat di era media sosial. Di Indonesia, masyarakat lebih memercayai informasi yang berasal dari media sosial daripada media arus utama. Di sisi lain, produk jurnalistik berkualitas juga terancam tenggelam dalam mekanisme algoritma internet. Anita Wahid dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menjelaskan, tantangan media di era media sosial memang lebih berat. Pasalnya, yang mereka hadapi adalah masyarakat yang sudah terpolarisasi.Â
Masyarakat yang sudah telanjur terbelah itu terkadang hanya memercayai informasi yang dipercayai oleh dirinya sendiri dan kelompok afiliasinya. Fenomena ini dibaca juga oleh Cahyadi (2020) sebagai bentuk dari persaingan keras antarmedia daring dalam memberitakan wabah Covid-19 telah mengorbankan prinsip dasar jurnalistik.Â
Menurutnya, jika dibiarkan, bukan hanya terjadi pembodohan massal, jurnalisme daring juga akan menemui ajal. Pandangan Cahyadi memang logis atas menjamurnya media daring yang memiliki format sama.  Setiap ada momentum atau peristiwa besar  yang menjadi perhatian public, media daring, menabrak prinsip-prinsip dasar jurnalistik. Jurnalisme pun seakan ikut sekarat di tengah mewabahnya Covid-19.
Hasil survei lembaga Edelman Trust Barometer 2018 mengungkapkan tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap media arus utama memperlihatkan tren menurun pada 2012-2018. Hal itu dipengaruhi di antaranya oleh banyaknya berita bohong (hoaks) di media sosial, media cetak, dan elektronik. Selain itu, juga karena kantor berita dianggap lebih fokus membuat berita yang menarik perhatian khalayak besar (click bait) dibandingkan dengan melaporkan berita.Â
Lembaga media juga dianggap tidak netral dan bias dalam memberitakan posisi politik dan ideologi tertentu dalam pemberitaan. Mengacu dari berbagai hasil penelitian dan pengamatan, sesungguhya penurunan kepercayaan publik terhadap media tidak terjadi semata-mata karena rendahnya literasi medsos. Sebenarnya, ada tantangan berat lain, yaitu jebakan bisnis media daring. Hal ini menyebabkan algoritma yang menenggelamkan berita media arus utama.Â
Hanya media yang disukai kelompok tertentu yang banyak dibagikan di ruang gema. Zen RS (2020) memberikan pandangan  tentang  media sosial dan ruang gema memang menjadi tantangan tersendiri bagi media arus utama. Apalagi, saat ini terjadi fenomena ketidakpercayaan (distrust) dan kecemasan (anxiety) masyarakat terhadap media arus utama. Selaian itu Zen berpandangan andil dari otoritas pemerintah yang kerap menyebarkan misinformasi kepada masyarakat. Semasa pandemi, misalnya, misinformasi yang berasal dari pemerintah masih kerap ditemukan terutama pemberitaan yang tidak didasarkan pada riset dan ilmu sains. Soal kalung antikorona, misalnya, ataupun ungkapan bahwa Indonesia kebal korona karena berada di wilayah tropis.
Untuk itu ketidakpercayaan publik terhadap media arus utama itu dapat dilawan dengan jurnalisme yang kredibel. Kerja-kerja jurnalistik harus diperbaiki sehingga menghasilkan informasi yang berkualitas. Di sisi lain, masyarakat juga harus diedukasi agar mau mengonsumsi informasi berkualitas dengan cara berlangganan. Dengan demikian, media tidak hanya mendapatkan pendapatan dari iklan, tetapi juga dari layanan berlangganan. Sebab, mekanisme iklan di media daring saat ini masih menjunjung tinggi asas rating yang dapat menurunkan kualitas media arus utama.
Pemimpin Redaksi Tirto.id A Sapto Anggoro mengatakan, masa pandemi ini dapat dijadikan momentum untuk memberikan pencerahan kepada publik bahwa kerja jurnalistik adalah kerja profesional. Berbeda dengan akun bot dan pendengung, media massa tidak menyebarkan informasi yang asal-asalan. Sebelum menerbitkan informasi, media harus melakukan disiplin verifikasi sesuai dengan kode etik jurnalistik. Media massa bekerja sesuai aturan UU Pers dan bertanggung jawab terhadap setiap informasi yang disampaikan. Hal ini yang harus terus digarisbawahi sehingga literasi masyarakat terus meningkat.
Parahita (2019) juga menyebut jurnalisme yang merepresentasikan media arus utama saat ini sudah seharunya kembali pada marwah dan  mengemban tugasnya sebagai penyedia informasi berkualitas terkait permasalahan publik. Di tengah goncangan terhadap jurnalisme sebagai sebuah prinsip, praktik, profesi, identitas maupun organisasi, jurnalisme juga mengalami krisis kepercayaan.Â
Meluasnya disinformasi, misinformasi maupun lontaran kebencian mengindikasikan berpalingnya audiens dari media berita untuk mendapatkan berita. Akan tetapi, disinformasi digital justru semakin menuntut hadirnya jurnalisme berkualitas di tengah masyarakat kita. Sebab, ke manakah warga akan mencari informasi pembanding untuk meme hoax selain dari sebuah proses pemeriksaan fakta yang ketat oleh komunitas yang dipercayai? Retorika tersebut sejatinya mengandung dua elemen yang perlu diperiksa lebih lanjut: kredibilitas dan kepercayaan terhadap jurnalisme.
Kebutuhan terhadap kredibilitas dan kualitas jurnalisme saat ini mendesak dinanti  oleh publik terlebih di tengah pandemik yang belum menunjukkan tren penurunan. Pandangan praktisi di atas dan kajian-kajian mengenai jurnalisme  dalam berbagai literatus terkini, juga merekomendasikan harap agar jurnalime kembali pada tugas dan fungsi sucinya.Â
Hal tersebut sejalan dengan konsumsi berita yang meningkat selama masa pandemi Covid-19 Â yang menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan informasi yang terpercaya. Ini menjadi modal kuat bagi media berita untuk memainkan peranan kunci dalam membatasi konten berbahaya termasuk hoaks melalui penyebaran informasi yang akurat. Data ComScore, perusahan riset pasar, tentang konsumsi media digital di Asia Pasifik menunjukkan, di Indonesia sejak 2 Maret 2020 banyak orang beralih ke outlet berita untuk mengetahui informasi tentang Covid-19.Â
Pengunjung unik (unique visitors) meningkat 8 persen --- jumlah pengunjung unik tertinggi tercatat 87 juta -- dan terus meningkat. Survei Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) pada April-Mei 2020 juga mencatat  kunjungan ke situs media anggotanya meningkat 50-60 persen. Sementara untuk  televisi, berdasarkan data Nielsen Indonesia pada medio Maret, kepemirsaan program berita meningkat 25 persen dibandingkan sebelum 2 Maret 2020.Kondisi tersebut menunjukkan meningkatnya kepercayaan masyarakat kepada media mainstream.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H