Permasalahan gaji adalah isu yang renyah setiap periode waktu tertentu. Tuntutan para buruh untuk kenaikan gaji kerap menjadi topik utama suatu media massa, khususnya pada Hari Buruh se-dunia tanggal 1 Mei setiap tahunnya.
Meskipun seringkali, negosiasi antara pemerintah, pengusaha, dan buruh berlangsung alot, kesepakatan selalu menghasilkan kenaikan gaji berdasarkan hitungan kebutuhan.
Upah Minimum Regional (UMR) adalah standar gaji buruh yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permennakertrans) Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Karena memiliki dasar hukum, hal tersebut mestinya ditaati segenap pengusaha yang menjalankan bisnis.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pembangkangan terhadap keputusan daerah atas penetapan UMR, bisa dikenakan pidana penjara empat tahun dan denda sebanyak Rp400 juta.
Meskipun begitu, banyak perusahaan masih menggaji karyawan mereka di bawah standar UMR. Dalam beberapa kesempatan, penulis pernah bekerja di perusahaan yang membayar karyawannya separuh dari ketentuan UMR.
Hal itu memang bukan tanpa dasar. Terkadang, pilihan untuk menggaji karyawan timbul karena jenis pekerjaan. Serta, sumber daya karyawan tersebut yang tidak mumpuni untuk melakukan tugas, sesuai dengan standar pencapaian. Tapi pada akhirnya, karyawan itu sendiri yang bersedia bekerja dengan upah di bawah minimum.
Kelakuan yang demikian itu justru bisa menimbulkan efek domino pada dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Budaya gaji rendah tidak saja akan memukul tingkat perkembangan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga dapat menurunkan etos kerja serta kepercayaan diri orang Indonesia. Dampak jangka panjangnya adalah penurunan kualitas sumber daya manusia orang Indonesia.
Dalam penelitian berjudul The Effect of Pay Level on Organization-Based Self Esteem and Performance: A Field Study, Gardner menyatakan bahwa tingkatan besaran gaji akan memengaruhi self esteem, dan akhirnya akan memengaruhi kinerja karyawan (Gardner, 2004).
Budaya kerja karyawan yang lemah, sebagai akibat dari budaya gaji rendah, hal itu akan semakin menurunkan produktivitas karyawan. Semakin lama, kondisi itu hanya akan melemahkan kedua belah pihak, baik pengusaha maupun karyawan.
Selain menekan pemerintah untuk tetap bisa menegakkan peraturan, agar meminimalisasi budaya gaji rendah yang diberikan perusahaan-perusahaan kepada karyawan mereka, permasalahan tersebut dapat diputus apabila pengusaha tidak mempekerjakan karyawan yang tidak kompeten.
Atau, perusahaan melakukan sistem pelatihan sebelum karyawan dipekerjakan. Hal itu sebagai tolok ukur layak kerja dan layak upah bagi calon karyawan. Memang terdengar sangat kapitalistik, tapi sampai sejauh ini, cuma cara demikianlah yang paling rasional dalam menjaga dan menghasilkan sumber daya berkualitas.
Dibanding pemilik usaha mempekerjakan beberapa orang dengan kualitas di bawah rata-rata, dengan gaji di bawah rata-rata, alangkah baiknya, jika pemilik usaha merekrut sumber daya manusia yang berkualitas dengan gaji yang layak.
Selain bisa menekan kepusingan manajemen, hal itu dapat menciptakan iklim kerja yang bagus, serta sebagai suatu proses mencetak kader sumber daya manusia yang mumpuni.
Hal itu akan bagus ke depannya. Karena jika Indonesia terbiasa untuk menghargai kualitas dalam etos kerja, karyawan mempunyai nilai tawar di muka para pengusaha, guna menghentikan keberlangsungan budaya gaji rendah.
Dengan pendapatan yang layak, tingkat kesejahteraan masyarakat luas juga ikut terkena dampaknya. Jika sudah begitu, Indonesia akan mampu menjadi negara maju.
Artikel ini pernah dimuat di http://www.pojoksamber.com/budaya-gaji-rendah-yang-justru-merugikan-pengusaha/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H