Pacific Islands Forum baru saja menyelenggarakan pertemuan tahunan yang ke-46 pada 7-11 September 2015 di Port Moresby, Papua Niugini.
Pacific Islands Forum (PIF) adalah organisasi regional yang beranggotakan 16 negara di kawasan Pasifik, yakni Papua Niugini (PNG), Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, Kepulauan Cook, Negara Federasi Mikronesia (FSM), Kiribati, Nauru, Nieue, Palau, Samoa, Tonga, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Selandia Baru, dan Australia.
Pertemuan PIF kali ini menarik perhatian kita karena masalah Papua ditetapkan sebagai salah satu dari lima agenda utama pembahasan. Indonesia tak terlibat dan dilibatkan dalam pembahasan masalah Papua karena bukan anggota PIF.
Masalah regional
Para pemimpin negara di Pasifik mendiskusikan isu Papua dan mengambil keputusan membantu penyelesaian masalah Papua. Dalam komunike PIF 2015, diungkapkan bahwa mereka mengakui dan menghormati kedaulatan Indonesia atas Papua, tetapi sekaligus menyatakan keprihatinan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua. Mereka selanjutnya menugasi PM PNG berkonsultasi dengan Indonesia tentang pembentukan tim pencari fakta (TPF) yang melibatkan berbagai pihak untuk meninjau situasi HAM di Papua.
Mendahului pertemuan PIF, semua lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kawasan Pasifik yang tergabung dalamPacific Islands Association of Non-Governmental Organizationsmembahas secara khusus tentang situasi HAM di Papua. Mereka memandang orang Papua sebagai sesama orang Pasifik dan karena itu masalah Papua dipandang sebagai masalah mereka juga. Mereka memperlihatkan solidaritas dengan mengangkat masalah Papua dalam forum regional dan menyampaikan keprihatinan dan pandangan tentang situasi HAM di Papua kepada tiga pemimpin PIF, yakni pemimpin PIF tahun 2014, 2015, dan 2016.
Masalah Papua masuk ke PIF melalui Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah kelompok subregional negara-negara di Pasifik Selatan yang beranggotakan PNG, Kepulauan Solomon, Fiji, Vanuatu, dan masyarakat Kanaky di Kaledonia Baru. Dalam pertemuan puncak MSG di Honiara, Kepulauan Solomon, Juni 2015, para pemimpin negara anggota MSG menerima Papua—melalui Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua/ULMWP)—sebagai anggota pengamat di MSG. Posisi baru ini mempermudah ULMWP membawa masalah Papua ke semua negara di Pasifik. Ditambah lagi, dengan dukungan penuh dari beberapa pimpinan negara, dalam waktu dua bulan sejak diterima sebagai pengamat MSG, masalah Papua mendapat perhatian yang luar biasa di seluruh kawasan Pasifik.
Pembahasan masalah Papua di PIF memperlihatkan terjadinya peningkatan isu Papua di Pasifik. Selama ini, masalah Papua biasa dipandang sebagai urusan domestik Indonesia dan karena itu pemerintah sebagai pihak utama yang bertanggung jawab berupaya menyelesaikan masalah Papua. Selain itu,tidak pernah ada pemerintah asing yang mengutak-atik konflik Papua di forum regional dan internasional.
Akan tetapi, pada 2015, ketika Indonesia merayakan 70 tahun kemerdekaan dan Papua merayakan 52 tahun integrasinya ke Republik Indonesia, terjadi perubahan saat masalah Papua meningkat dari urusan internal Indonesia menjadi isu regional Pasifik. Oleh karena itu, baik pegiat LSM maupun para pemimpin negara-negara anggota PIF menyuarakan pentingnya penyelesaian masalah Papua secara damai. Karena sudah jadi masalah regional Pasifik, Papua kini berada di bawah radar PIF.
Isu HAM
Jika menganalisis hasil pembahasan PIF, sebagaimana yang tertera dalam pernyataan akhirnya, semua negara Pasifik secara jelas menghormati dan mengakui kedaulatan Indonesia atas Papua.Perhatian para pemimpin negara anggota PIF terfokus dan tertuju hanya pada situasi HAM di tanah Papua. Mereka mendapatkan informasi soal pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat terutama melalui media sosial. Berita-berita dan gambar-gambar tentang pelanggaran HAM yang disebarluaskan melalui media sosial terbukti berhasil memengaruhi opini publik masyarakat dan para pemimpin negara di Pasifik.
Tampak bahwa pada isu HAM Papua para pemimpin negara anggota PIF, termasuk negara-negara yang biasa berpihak kepada Indonesia, bersatu pandangan untuk membahasnya dalam forum regional. Mereka bahkan bersepakat membentuk TPF HAM Papua apabila disetujui Pemerintah Indonesia.
Isu HAM Papua dapat dibahas dalam berbagai forum regional dan internasional. Oleh sebab itu, pemerintah perlu mencegah peningkatan masalah Papua menjadi isu internasional dengan menjadikan isu pelanggaran HAM sebagai masalah internal. Untuk itu, pemerintah perlu menunjuk satu pejabat tinggi, minimal setingkat menteri, untuk menangani penyelesaian masalah Papua melalui jalan dialog. Dia dibantu oleh satu tim yang terdiri dari tiga orang non-Papua, tetapi dipercaya oleh orang Papua, untuk mempersiapkan dialog damai menuju rekonsiliasi. Dengan demikian, isu pelanggaran HAM dapat diselesaikan tanpa campur tangan pihak asing.
(Oleh: Neles Tebay, dosen pada staf fajar timur dan koordinator jaringan damai papua di abepura) ***(sumber : Kompas, 24 September 2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H