Semua orang sepakat bahwa sikap optimis lebih baik daripada sikap pesimis. Karena dengan sikap optimis, kita memiliki pola berpikir positif dan menjadikan diri kita lebih tangguh dalam menghadapi tantangan apapun. Tak hanya itu, dengan sikap optimis memberi kita energi untuk mencapai tujuan kita. Tetapi, bagaimana jadinya ketika kita bersikap optimis justru memberikan dampak buruk bagi kehidupan kita?
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temui, seseorang tidak menggunakan helm saat mengendarai motor, karena dia optimis, percaya bahwa dia akan selamat sampai tujuan dan hanya orang lain yang mengalami kecelakaan. Contoh lainnya, di masa pandemic ini muncul kalimat : "orang yang kena covid-19 itu, orang yang imunnya rendah", "aku masih muda,imunku masih kuat, jadi gak bakal kena covid-19". Kalimat tersebut banyak di lontarkan oleh orang-orang yang optimis bahwa dirinya tidak akan tertular.Â
Fenomena-fenomena tersebut yang di namakan dengan Optimisme Bias, Salah satu jenis bias kognitif yang banyak dialami oleh manusia.
Sekilas mungkin kita mengira bahwa sikap optimisme bias tidak berpengaruh besar dalam hidup seseorang tetapi jika optimisme bias dibiarkan terlalu lama, maka sebenarnya berbahaya. Dampak dari optimisme bias, dapat menurunkan kemampuan seseorang dalam berpikir analisa terhadap resiko-resiko dalam pengambilan keputusan.Â
Apakah berarti kita tidak boleh optimis? Tentu saja sikap optimis itu boleh-boleh saja tetapi yang perlu kita sadari adalah bahwa kita punya bias tersebut. Agar kita tidak terjebak dengan sikap optimisme bias ini, maka perlu kita pelajari apa makna dari optimisme bias, seperti apa realitas konkrit sikap optimisme bias, dan bagaimana sikap optimis yang benar?
Apa itu Optimisme bias?
Optimisme bias salah satu dari  kognitif bias. Kognitif Bias yaitu kesalahan berpikir yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan dan penilaian yang di buat oleh seseorang, kognitif bias membuat pola pikir menyederhanakan atau menyepelekan proses pengambil keputusan.
Optimisme bias ini mengakibatkan seseorang berasumsi bahwa dirinya lebih kecil kemungkinannya mengalami kejadian buruk. Optimisme bias ini juga mengakibatkan seseorang gagal mengukur resiko-resiko dan potensi yang ada dalam dirinya sehingga menjadikan dirinya terlalu percaya diri bahwa dirinya akan mendapatkan kebaikan dan kesuksesan.
Dari optimisme bias ini, muncul orang-orang optimis yang tidak rasional. Orang optimis irasional cenderung percaya diri terhadap kemampuan mereka sendiri dan cepat menarik keputusan-keputusan yang sangat positif dari data-data yang terbatas. Nama lain dari optimisme bias adalah Unrealistic.Â
Optimisme Bias muncil dalam tiga bentuk (zein,2020) yaitu:
1. Ilusi Superioritas
yaitu keyakinan bahwa individu memiliki kelebihan daripada orang kebanyakan. Dengan kata lain, Seorang Optimisme Bias ini beranggapan bahwa Peristiwa buruk atau kegagalan jarang terjadi pada dirinya, karena potensi dan kelebihan yang di milikinya.
contohnya:Â
seorang pelajar kelas 3 SMA yang akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri. pelajar ini sangat berprestasi di sekolahnya, selalu juara 1 dan tidak pernah mendapatkan nilai yang jelek. sehingga membuat dia optimis dirinya pasti akan bisa masuk PTN dengan potensi yang di milikinya. Dengen berkata "sudah pasti saya pasti lolos dan bisa masuk PTN impian saya, tidak ada yang perlu di ragukan dari potensi saya dan tidak perlu belajar sungguh-sungguh".Â
Sekilas sikap optimisnya memberikan energi positif, tetapi apakah jika seseorang itu memiliki kemampuan dan prestasinya sudah banyak, tidak akan mengalami kegagalan?
Sikap optimis yang sesungguhnya adalah dengan merencanakan dengan matang, melihat potensi-potensi yang di miliki dan mengukur kemungkinan-kemungkinan kegagalan.
Dampak dari sikap optimis bias ini membuat seseorang tidak berusaha lebih maksimal lagi. Orang dengan optimisme bias ini justru cenderung tidak melakukan perubahan perilaku dan tidak berkembang untuk mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya.
2. Ilusi Kemungkinan
yaitu keyakinan seseorang merasa kecil kemungkinan dirinya akan mengalami hal-hal buruk. Dengan kata lain, probabilitas kecil hal buruk terjadi pada dirinya. Ini yang di Namakan ilusi kemungkinan, merasa optimis dan percaya bahwa dirinya tidak akan mengalami hal buruk.
Tali Sharot dalam TED Talk yang berjudul "The Optimism Bias", menjelaskan bahwa di Amerika tingkat penceraian mencapai 40% artinya lima pasangan suami-istri, dua di antaranya bercerai tetapi ketika bertanya kepada pengantin baru tentang kemungkinannya bercerai mereka menjawab 0% bahkan pengacara khusus perceraian juga terlalu optimis atas kemungkinan mereka bercerai. Hal ini terjadi karena kejadian tersebut jarang terjadi ketika berbicara soal perceraian, penyakit langkah, Tsunami, banjir bandang, dan sebagainya. Mayoritas orang merasa kalau diri mereka tidak akan berdampak karena memang kejadian tersebut tidak terjadi setiap hari.
Sikap optimis yang sesungguhnya adalah dengan mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang terjadi pada dirinya. Dengan mencoba mencari ilmu terkait agar tidak adanya permasalahan di kemudian hari. Karena sikap optimis itu seharusnya memberikan dampak baik dalam hidup kita bukan sebaliknya.
3. Ilusi Kontrol
yaitu ketika seseorang memiliki keyakinan berlebihan dapat mengendalikan situasi eksternal.
Sudah hampir 3 tahun pandemi berlalu. Namun, masih saja banyak masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan. Di kota besar seperti Jakarta, tidak sedikit masyarakat yang terlihat tidak mengenakan masker dalam melakukan kegiatan sehari-hari, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak. Hasil liputan oleh Nanyang Technological University yang telah melakukan survei di DKI Jakarta dan Surabaya telah menguatkan, yaitu banyak warga masyarakat yang mempercayai mereka tak akan tertular virus corona (Salman, 2020).
Dampak dari optimism bias ini yaitu dapat membuat seseorang meremehkan kemungkinan mereka tertular Covid-19 dan mengabaikan peringatan aturan-aturan kesehatan yang telah di buat oleh pemerintah.
Cara agar tidak terjebak Optimisme Bias
1. Membiasakan berpikir Analisa
Selalu bersikap waspada tehadap optimisme bias ini dengan membiasakan berpikir kritis dan analisa terhadap keputusan-keputusan sikap yang kita ambil.
Dengan berpikir yang cukup waktu maka keyakinan kita jadi bisa kita renungkan. Berhenti sejenak, merefleksi, aktif mencari sumber refensi yang mendukung terhadap keputusan kita. Â Optimisme yang rasional adalah menilai sesuatu dengan realistis dengan berpikir memakai data dan fakta dalam mengambiil keputusan.
2. Menerima kegagalan atau penderitaan
Seseorang yang bersikap optimis menginginkan bahwa hidupnya berjalan dengan baik dan mengharapkan kesuksesan. Seorang optimisme bias cenderung untuk tidak menerima jika dirinya mendapatkan kegagalan atau peristiwa buruk. Agar sikap optimis kita optimis yang rasional, kita harus siap menerima adanya masalah dalam hidup kita.
Karena memang terkadang semua hal tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Disinilah optimisme rasional yang di butuhkan, dengan mengakui adanya masalah dalam hidup kita dan kita tetap menyikapinya dengan positif yaitu dengan tetap sabar, tekun dan pantang menyerah untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, bukan lantas optimis yang menyepelekan kemungkinan hal buruk terjadi pada diri kita.
Akui dan terima fakta hidup bahwa saat ini kita dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sehingga, optimistis yang rasional tetap melihat masalah, tetapi terus berpikir bahwa mereka bisa melakukan sesuatu perubahan lebih baik lagi.
Semoga kita bisa memilih sikap optimis yang baik dan tidak terjebak dengan optimisme bias yang memberikan dampak buruk bagi kita yang membangun bisnis, meniti karir dan menempuh studi. Semoga kita menjadi orang-orang optimis yang rasional. :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H