Kemudian ia membeber korannya di lantai dapur yang tertutup karpet hitam, aku terpaksa mengikutinya. Aku sangat menghargai anak-anak yang tak segan-segan membagi berbagai informasi kepadaku, bahkan peristiwa-peristiwa kecil dari berkelahi antar geng di Mekkah, sepak bola, balap mobil liar di Muzdalifah tiap malam kamis juga tak luput diceritakannya padaku. Jujur, dari merekalah aku banyak menimba pengalaman, dari belajar bahasa Arab hingga terbata-bata membaca tulisan Arab tanpa harakat di koran-koran lalu menerjemahkannya.
“Nah kau kenal foto ini? Dia AN, termasuk dalam daftar sembilan belas teroris yang merobohkan pentagon di Amerika. Dia salah satu anngota Al Qaeda yang di pimpin Osama Biladen dari Jeddah.” Katanya dengan bangga.
“La khaula wala kuwata illa billah. Masa iya, Ram?”
Lalu kucoba melihat jelas wajah dalam foto. Ia telah mencukur habis jenggotnya, nyaris aku tak mengenalinya. Namun wajah dan terlebih mata dalam foto itu mengingatkanku pada adiknya yang berumur tujuh tahun.
Akhirnya rasa penasaran dan heranku pada sosok AN terbayar sudah. Dia menjadi satu dari 4 teroris yang berada pesawat United Airlines Flight 93 dengan tujuan serangan ke Gedung Putih Washington DC, namun pesawatnya terjatuh dekat Shanksville, Pennsylvania.
AN yang pendiam itu ternyata mampu membuat sejarah kelam yang menggemparkan dunia. Khususnya Amerika yang terkenal dengan kecanggihan teknologi dan agen-agen rahasianya, ternyata masih bisa kebobolan juga.
Walaupun pada tanggal 11 September 2001 hampir semua rumah di Arab melafazkan kalimat “Allahu Akbar” dan berteriak-teriak girang. Namun akibat dari semuanya itu, memicu kemarahan Amerika dan berdampak meletusnya perang Afganistan. Dan sangat disesalkan bahwa ribuan yang menjadi korban tetaplah rakyat tak berdosa baik rakyat Amerika dan rakyat Afganistan khususnya yang menderita berkepanjangan hingga sekarang. Jadi, sosok yang kuidolakan itu, dengan suara bening dan kharismanya yang luar biasa itu rupanya seorang teroris berkaliber dunia. Andai kutahu siapa dia sesungguhnya, pasti akan kupinta tanda tangannya, dehh…
Satu tahun kemudian aku kembali berjumpa dengan keluarga mereka dengan suasana tetap di bulan Suci, karena Ramadan 2001 mereka tak berkunjung ke Mekkah. Kedua adiknya masih ceria walau terlihat menjaga jarak, hanya saja mereka malu untuk meminta dibuatkan mi instan lagi. Sempat kutanyakan pada pembantunya dari Srilanka yang selalu bersembunyi di balik cadar itu tentang AN untuk menuntaskan rasa penasaranku padanya. Jawabnya, dia tak pernah melihatnya, namun fotonya masih terpajang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H